Saturday, November 6, 2010

SISTEM KETENAGA KERJAAN SAAT INI DAN SOLUSINYA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti halnya yang kita ketahhui bersama, manusia merupakan makhluk social yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka membutuhkan suatu penghasilan atau biasa kita sebut uang, yang nantinya akan di digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka tersebut
Dan untuk mendapatkan suatu penghasilan maka manusia mau tidak mau harus memiliki pekerjaan, sebab hanya dengan bekerja manusia dapat memperoleh apa yang mereka butuhkan untuh memenuhi segala kebutuhan mereka. Kadang kita beranggapan bahwa orang sufi yang zuhud tidak membutuhkan uang, namun anggapan tersebut sebenarnya adalah keliru, sebab imam al-ghozali sendiri menjelaskan dalam kitab karangan beliau yang berjudul ihya' al-ulumuddin, bahwasanya yang disebut sifat zuhud adalah hati yang tidak terikat akan kecintaan terhadap duniawi, bukan menjauhinya, maka dari itu, tidak ada yang melarang orang yang berzuhud itu kaya asalkan hati dan kecintaannya terhadap allah tidak dikalahkan oleh kecintaannya terhadap duniawi
Kembali ke pokok permasalahan, bahwasanya manusia harus bekerja terlebih dahullu untuk mendapatkan suatu penghasilan, sedangkan seperti yang kita ketahui bersama saat ini, lowongan pekerjaan sekarang ini sangat sulit untuk didapatkan, apalagi yang berpenghasilan tinggi, kalaupun ada pastinya hanya melalui 2 cara, yakni, usaha mandiri atau yang kita sebut dengan wiraswasta dan usaha non mandiri yang di peroleh dengan bekerja membantu orang, yang paling poopuler saat ini adalah system kerja outsourching.
Namun gaji yang mereka terima dari penyalur tenaga kerja ini sangat minim sebab terlalu banyak potongan yang diambil, sedangkan untuk berwiraswasta dibutuhkan modal dan skill yang belum tentu semua orang memilikinya.
Sedangkan didalam begitu banyak outsourching yang ada, rata-rata kesemuanya memakai sistem bawaan yakni, membayar seseorang agar bisa bekerja di suatu pabrik atau tempat tertentu, dan nominalnya pun berbeda-beda. Semakin tinggi gaji yang akan ia terima maka semakin mahal juga ia harus membayar, di satu sisi juga pabrik yang mempekerjakan mereka memakai sistem kontrak yang akan di ganti dalam tiap priode tertentu, hal ini tentunya sangat merugikan para pekerja
Padahal, selama ini, sistem perekonomian kita berjalan dikarenakan adanya para pekerja pekerja keras ini yang rela untuk dibayar hanya sedikit demi untukmemenuhi kebutuhan mereka dan keluarganya.
Ini merupakan suatu permasalahan sosial yang sangat  sering kita jumpai di sekitar kita, begitu banyak sarjana, atau lulusan sma yang tidak bekerja dikarenakan sulitnya mencari lowongan kerja, sehingga banyak pengangguran yang nantinya akan ditakutkan menimbulkan masalah-masalah baru seperti tindak kejahatan karena kesulitan ekonomi, penyalahgunaan obat-obatan dikarenakan anak-anak muda yang frustasi dan lain sebagainya.
Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini, kami akan sedikit banyak membahas tentang minimnya ketenaga kerjaan, dampak yang akan ditimbulkannya serta solusi terbaik yang dapat diambil guna mengatasi masalah sosial tersebut. Oleh karena itu makalah kami ini kami beri judul
"SISTEM KETENAGA KERJAAN SAAT INI DAN SOLUSINYA"
Semoga dapat bermanfaat serta menjadi sebuah bahan kajian yang berharga bagi kita bersama

B. Rumusan Masalah

1.            Bagaimana Sistem Ketenaga Kerjaan yang ada saat ini?
2.            Apa dampak yang akan terjadi bila banyaknya pengangguran?
3.            Bagaimana solusi yang tepat untuk menanggulanginya?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Kajian Masalah Aktual Ketenagakerjaan

Masalah kontemporer ketenagakerjaan Indonesia saat ini menurut analisis kami berangkat dari empat persoalan besar yakni :
  1. Tingginya jumlah pengangguran massal
  2. Rendahnya tingkat pendidikan buruh
  3. Minimnya perlindungan hokum
  4. Upah yang kurang layak

1. Pengangguran dan Pendidikan Rendah

Masalah di atas pada akhirnya tali temali menghadirkan implikasi buruk dalam pembangunan hukum di Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh keempat masalah di atas dapatlah disimpulkan bahwa akar dari semua masalah itu adalah karena ketidakjelasan politik ketenagakerjaan nasional. Sekalipun dasar-dasar konstitusi UUD 45 khususnya pasal 27 dan pasal 34 telah memberikan amanat yang cukup jelas bagaimana seharusnya negara memberikan perlindungan terhadap buruh/pekerja.
Berikut adalah data ketenagakerjaan Indonesia menurut sensus 2002
Struktur Angkatan Kerja Pekerja dan Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan

No
Tingkat Pendidikan
Struktur Angkatan Kerja
Struktur Pekerja
Struktur Pengangguran Terbuka
(Juta)
(%)
(Juta)
(%)
(Juta)
(%)
1
SD dan SD kebawah
59,05
58,6
55,84
60,9
3,22
35,3
2
SMTP
17,49
17,4
15,34
16,7
2,15
23,5
3
SMU
12,21
12,1
10,07
11,0
2,14
23,4
4
SMK
7,12
7,1
6,02
6,6
1,11
12,2
5
Diploma/Akademi
2,21
2,2
1,96
2,1
0,25
2,7
6
Univesitas
2,69
2,7
2,42
2,6
0,26
2,8
Jumlah
100, 77
100,0
91,65
100,0
9,13
100,0



Sebagai bahan catatan, bahwa angka tersebut tiap tahun hinnga 2010 ini naik 10% tiap tahunnya sehingga dapat diperkirakan Dari data di atas berapa besar jumlah pengannguran yang ada sekarang ini.
Mengingat bahwa setiap tahunnya paling tidak terdapat 2,10 juta angkatan kerja baru yang memerlukan pekerjaan dan Bila diasumsikan yang tertampung 1,6 juta jiwa, berarti masih ada luapan setengah juta jiwa yang masih tetap menganggur setiap tahunnya.

2. Minimnya Perlindungan Hukum dan Rendahnya Upah
Dalam kamus modern serikat buruh, hanya ada dua cara melindungi buruh yaitu;
Pertama, melalui undang-undang perburuhan. MeIalui undang-undang buruh akan terlindungi secara hukum, mulai dari jaminan negara memberikan pekerjaan yang layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan dan keselamatan kerja dan upah layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun.
Kedua, melalui serikat buruh. Sekalipun undang-undang perburuhan bagus, tetapi buruh tetap memerlukan kehadiran serikat buruh untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). PKB adalah sebuah dokumen perjanjian bersama antara majikan dan buruh yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hanya melalui serikat buruhlah-bukan melalui LSM ataupun partai politik-bisa berunding untuk mendapatkan hak-hak tambahan (di luar ketentuan UU) untuk menambah kesejahteraan mereka.
Negara-negara industri maju telah membuktikan bahwa kedua instrumen di atas telah mengurangi kesenjangan kaya-miskin, dan sekaligus mengurangi potensi kemarahan sosial. Tetapi apa yang terjadi di Indonesia, perlindungan undang-undang terhadap buruh sangat rendah. Lihatlah sistem peradilan perburuhan kita yang tidak memberikan kemungkinan buruh menang dalam proses peradilan yang panjang (mulai dari bipartit, perantaraan, P4D, P4P, PTUN, Mahkamah Agung, Peninjauan Kembali, dan masalah eksekusi). Dalam sejarahnya, hanya satu kali kasus SBSI menang di tingkat MA, kasus yang masuk ke PTUN semuanya kalah. Dan ribuan kasus yang masuk ke tingkat P4P hampir 90% kalah dan dimenangkan pengusaha. Buruh sebenamya tidak percaya lagi dengan lembaga peradilan ini, tetapi karena tidak ada pilihan lain, sekalipun harus kalah, tetapi mereka memilih kalah terhormat daripada harus menerima PHK semena-mena. Ditambah lagi dengan program Jamsostek yang tidak memberikan manfaat banyak terhadap buruh, karena di samping status usahanya profit oriented, pemerintah bahkan ikut-ikutan mengambil dana deviden dari keuntungan Jamsostek. Sehingga buruh hanya menerima rata-rata Rp 2,5 juta setelah pensiun umur 55 tahun. Tentu saja jumlah ini tidak mencukupi kebutuhan buruh pasca kerja. Itulah sebabnya banyak pensiunan buruh jatuh dalam kemiskinan tragis, sebab bahkan saat bekerja saja hidupnya sudah berada pada level subsisten, setelah pensiun akan lebih tragis lagi. Semua kenyataan ketidakadilan ini bisa dilihat dan diketahui semua politisi dan pemerintah. tetapi tidak ada satupun syang membuat hak inisiatif dalam merubah UU peradilan perburuhan dan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan.
Otonomi daerah telah menghadirkan skenario lebih buruk terhadap buruh, sebab tidak ada efektif lagi pengawasan Depnaker pusat. Semua daerah berlomba memperluas retribusi baik legal maupun ilegal untuk menambah APBD, tidak perduli apa dampaknya terhadap semakin berkurangnya minat investor beroperasi di daerah itu. Ada retribusi perpanjangan ijin IKTA, pungutan mendapatkan kartu kuning, ijin penyimpangan waktu kerja, biaya pendaftaran PKB, dan sebagainya, yang kesemuanya menggambarkan kaburnya visi pemerintah daerah terhadap pengembangan perekonomian.
B. Penyalur Tenaga Kerja (Outsourching)
               Hampir di semua negara saat ini, problema ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Umumnya di Negara maju masalah yang dijumpai adalah mahalnya upah tenaga kerja, sedangkan di Negara berkembang seperti kita adalah minimnya lapangan pekerjaan.
               Seperti yang kita liat saat ini, di Indonesia, selain dari wirausaha, lapangan kerja yang terbuka lebar berkisar diantara buruh pabrik, proyek, sales (marketing) dan pegawai negeri sipil. Namun lapangan pekerjaan tersebut sangat sulit untuk didapatkan kecuali dengan koneksi yang baik serta uang yang cukup. Dan rata-rata kesemuanya melalui outsourching kecuali tentunya PNS yang harus melalui seleksi ketat, padahal  sudah menjadi rahasia umum 80% kuato PNS telah dipesan oleh orang-orang tertentu.
               Dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka penganguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah, jaminan sosial nyaris tidak ada. Maka jasa outsourching sangat dicari oleh para pencari kerja, padahal tenaga kerja yang ikut outsourching, mereka rata-rata hanya menerima 60-70% dari gaji yang dibayarkan oleh pengusaha tempat mereka berkerja, sungguh miris kenyatan seperti ini, seakan para pekerja adalah sapi perah yang hanya dimanfaatkan oleh pihak outsourching
               Disamping itu, system kerja mereka adalah sistem karyawan kontrak sehingga mereka tidak berhak mendapatkan pesangon ataupun THR yang memadai, dan juga para karyawan tersebut biasanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab untuk diharuskan membayar uang tertentu saat masuk kerja, dan lebih parahnya lagi, semua karyawan ini dengan berat hati menerima semua ketentuan diatas dengan dalih mereka butuh uang, butuh makan untuk mereka dan keluarganya.
               Para pemilik pabrik juga merasa sangat diuntungkan dengan kehadiran para tenaga kerja outsourching ini, sebab mereka bisa mendapatkan tenaga kerja yang bias di bayar minim dengan hasil kerja yang maksimal tanpa harus membayar uang pesangon, ataupun tunjangan-tunjangan yang lainnya, maka semakin lengkaplah penderitaan para pekerja kita, sehingga tidaklah heran semakin lama semakin banyak pengangguran yang ada saat ini.
C. Upah Minimum Regional dan Upah Minimum Daerah
               Pemerintah pusat menetapkan setandar UMR berkisar antara 1juta hingga 1,2juta rupiah perbulan, dan pemerintah daerah gresik sendiri menetapkan UMD sebesar 975 ribu rupiah, dan angka ini belum beranjak naik, padahal semakin lama kebutuhan keseharian para karyawan semakin mahal padahal gaji mereka tidak pernah naik.
               Belum selesai sampai disitu saja, banyak pengusaha yang nakal yang tidak mau menuruti peraturan tersebut sehingga ada karyawan seperti di pabrik WKA, dan pabrik kayu yang hanya mendapat upah 22ribu perhari. Ditambah lagi pengusaha yang kelasnya dibawah pabrik seperti pegawai toko, pegawai Bantu instansi, upah mereka justru jauh dibawah UMR dan UMD yang ada saat ini.
               Seakan-akan pemerintah hanya diam melihat semua kenyatan ini, tanpa bisa membuat perubahan yang signifikan untuk mengurai masalah tersebut. Begitu juga dengan pemerintah daerah yang justru mendukung tumbuhnya sistem outsourching sebab dari sana pemerintah daerah mendapat income untuk APBD yang lumayan besar.
E. Problem Pemutusan Hubungan Kerja
               Salah satu persoalan besar yang dihadapi para buruh saat ini adalah PHK. PHK ini menjadi salah satu sumber pengangguran di Indonesia. Jumalah Pengangguran di Indonesia sangat besar. Menurut Center for Labor and Development Studies (CLDS), pada 2002, jumlah penganggur diperkirakan sebesar 42 juta orang (Republika, 13/05/02). Pastilah, banyaknya pengangguran ini akan berakibat banyak pada sektor kehidupan lainnya. Sebenarnya, PHK adalah perkara biasa dalam dunia ketenagakerjaan. Tentunya asalkan sesuai dengan kesepakatan kerja bersama (KKB) dan pihak pekerja maupun pengusaha harus ikhlas dan menyepakati pemutusan kerja ini. Hanya saja, dalam kondisi dimana tidak terjadi keseimbangan posisi tawar menawar maka PHK, dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi bencana besar yang sangat menakutkan para buruh.
               Secara umum PHK terjadi karena beberapa sebab seperti permintaan sendiri, berakhirnya masa kontrak kerja, kesalahan buruh, masa pensiun, kesehatan/ kondisi fisik yang tidak memungkinkan, dan meninggal dunia. Problema PHK biasanya terjadi dan kemudian menimbulkan problema lain yang lebih besar bagi kalangan buruh, karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha, diantaranya:
1. Posisi salah satu pihak yang lemah (biasanya pihak pekerja) sehingga pihak lain yang lebih kuat dengan mudah memutuskan hubungan kerja dan menggantinya dengan pekerja baru yang sesuai keinginan. Hal itu dilakukan dengan alasan logis maupun direkayasa.
2. Tidak jelasnya kontrak (waktu) kerja sehingga PHK bisa terjadi kapan saja.Kebijakan menetapkan KKB (KesepakatanKerja Bersama) tidak dilakukan dan dikontrol dengan baik sehingga kasus PHK bisa terjadi kapan saja.
3. Rendahnya SDM kaum pekerja, semakin sulitnya mencari pekerjaan alternatif, dan tidak terjaminnya pemenuhan kebutuhan dasar oleh negara.Tidak heran, PHK menjadi seperti vonis mati bagi pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan normalnya.
4. Tidak adanya pihak ketiga yang membantu penyelesaian kasus PHK secara tuntas yang memuaskan kedua pihak, terutama pihak buruh yang paling sering menerima kekalahan. Meskipun pemerintah telah menyusun peraturan teknis tentang PHK dalam UU No. 12 Tahun 1964 yang disempurnakan olehPeraturan Menteri Tenaga Kerja No.PER-03/MEN/1996, namun dalam pelaksanaan teknisnya banyak realitas yang merugikan hak-hak kaum buruh itu sendiri. Secara kasuistik, hal itu lebih disebabkan rendahnya pemahaman buruh terhadap berbagai peraturan pemerintah, posisi tawar yang rendah, dan tidak adanya lembaga pendamping yang secara serius membela kondisi kaum buruh dalam menghadapai kasus PHK ini.
               Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan buruh pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai azas politik perekonomiannya.
             Berdasarkan indeks yang dikeluarkan UNDP (United Nations Development Progamme), Rabu (24/7/2002), Indonesia menduduki peringkat ketujuh dari sepuluh anggota Asean. Di bawah Indonesia, bertengger negara Myanmar, Kamboja, dan Laos. Tak pelak, Kesejahteraan Indonesia di tingkat internasional juga buruk Masih menurut UNDP, Indonesia menempati posisi 110 dari 173 negara, berada kalah dari Vietnam. Padahal bukankah Indonesia negeri yang alamnya sangat kaya?
D. Dampak Ekonomi dan Sosial dari Banyaknya Pengangguran
Pemerintah baru sekarang patut memprioritaskan kebijakan sosial-ekonominyapada upaya mengatasi pengangguran. Dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa, ternyata angka pengangguran terbuka di Indonesia hampir mencapai angka 10 juta orang. Dengan tingkat pengangguran menginjak 10%, bisa dikatakan negara sudah dalam keadaan bahaya. Untuk itu perlu dilakukan langkah terpadu mencari jalan keluar bertambahnya angka pengangguran di negara ini.  Apalagi belakangan ini gejala sosial masalah ketenagakerjaan itu sudah mulai terlihat dari kasus membludaknya pelamar kerja di sejumlah pameran bursa kerja di Jakarta dan Bandung. Ini mengindikasikan betapa masalah ketenagakerjaan atau pengangguran merupakan persoalan cukup krusial di negara ini.
Pertumbuhan angka tenaga kerja di negara kita yang jauh melebihi jumlah ketersediaan lapangan kerjanya itu sangat perlu menja-di perhatian semua pihak. Apalagi mengingat bahwa setiap tahunnya paling tidak terdapat 2,10 juta angka-tan kerja baru yang memerlukan pekerjaan.  Bila diasumsikan yang tertampung 1,6 juta jiwa, berarti masih ada luapan setengah juta jiwa yang masih tetap menganggur setiap tahunnya. Bila masalah pengangguran itu tak dipikirkan solusinya, ia akan menjadi masalah nasional amat rentan. Sebab, banyaknya tenaga kerja yang tak memperoleh pekerjaan, otomatis akan memberikan ekses di berbagai sektor, baik sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik maupun lainnya.. Terlebih bila tak ada kebijakan yang tepat dan terpadu dari pemerintah untuk menanganinya.
Pengangguran yang menumpuk dapat melahirkan dampak sosiologis krusial, yang pada gilirannya dapat membahayakan stabilitas nasional. Terlebih bila banyak petualang politik yang memainkan berbagai masalah sosial sebagai kendaraan politiknya. Karenanya, bila tak diperoleh solusi yang tepat, masalah pengangguran bisa menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja. 
Berbagai penyakit sosial akan menjadi fenomena baru yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Kriminalitas, premanisme dan tindak kekerasan akan mening-kat tajam sejalan kian banyaknya jumlah pengangguran. Mereka yang frustrasi karena tak sanggup memenangkan kompetisi memperebutkan lapangan kerja akan terdorong menempuh berbagai jalan pintas negatif agar dapat bertahan dalam hidupnya.
Dengan demikian di masyarakat akan lahir banyak masalah sosial. Kejahatan akan merajalela di jalanan, premanisme akan tumbuh subur di setiap sudut kota, anak-anak jalanan akan memenuhi perempatan lampu merah, jumlah siswa putus sekolah akan meningkat tajam karena tak sanggup membayar SPP, perumahan kumuh muncul di setiap tempat, dan kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin akan kian menganga. 
Semua itu, bisa menjadi bom waktu terjadinya ledakan sosial dahsyat. Terlebih bila kemudian timbul sentimen sosial antarkelas dalam masyarakat. Bagi kalangan tertentu ini bisa disulut sebagai celah membuat berbagai kekacauan yang besar di masyarakat. Implikasinya, akan mudah lahir chaos dan anarkhi. 
Fenomena penjarahan di Jakarta yang terjadi tahun 1998 bukan tak mungkin terjadi lagi. Angka pengangguran yang tinggi akan diikuti kesenjangan ekonomi antarkelompok yang lebar.. Ini bisa memicu penjarahan terhadap kelompok ekonomi mapan sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan kalangan miskin (termasuk penganggur) terhadap kesumpekan hidup.
Pengangguran yang tinggi juga dapat memicu disparitas sosial. Implikasinya akan bisa terjadi pertentangan kelas yang tajam yang dapat berujung perbenturan dan konflik ras, suku, agama dan antargolongan (SARA).  Fakta juga membuktikan berbagai konflik SARA yang melahirkan banyak korban jiwa yang pernah terjadi di Indonesia, awalnya dipicu motif ekonomi.  Dengan demikian, kesenjangan ekonomi yang tajam akibat pengangguran yang luar biasa besarnya akan memicu melebarnya konflik dan kericuhan di sektor-sektor sosial lainnya. Karena itu, kini diperlukan berbagai katup pengaman untuk mengantisipasi bahaya-bahaya sosial yang tak dikehendaki tadi. Artinya, pemerintah baru perlu merumuskan kebijakan yang tepat untuk menutup atau meminimalisasi ruang terjadinya ekses-ekses negatif tadi.
Ini agar kriminalitas, premanisme dan tindakan kekerasan tak menjalar lebih lebar di masyarakat, khususnya di level masyarakat bawah yang memang amat riskan.
F. Solusi yang tepat untuk menanggulangunya
Sering berbagai pihak menyatakan persoalan pengangguran itu adalah persoalan muara. Berbicara mengenai pengangguran banyak aspek dan teori disiplin ilmu terkait. Yang jelas pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara konsepsional, komprehensif, integral baik terhadap persoalan hulu maupun muara. Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh sebagai berikut.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional. Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya.
Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.
Selalin itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin. Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas. Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang.
Pertama, Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia maupun keuangan (finansial).
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci, keberadaaan lembaga itu dapat disusun dengan baik.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan, segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.
Pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan kompleks sehingga hal itu perlu dicegah dengan berbagai cara terutama penyempurnaan berbagai kebijakan.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.
Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi para penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau setengah penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja, dan sebagainya.
Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Masalah kontemporer ketenagakerjaan Indonesia saat ini berangkat dari beberapa persoalan besar yakni : Tingginya jumlah pengangguran massal, Rendahnya tingkat pendidikan buruh, Minimnya perlindungan hokum, Upah yang kurang layak, penyalur tenaga kerja (outsourching) yang kurang memihak para pekerja, Upah Minimum Regional dan Upah Minimum Daerah yang tidak sesuai, Problem Pemutusan Hubungan Kerja yang semena-mena
Pengangguran yang menumpuk dapat melahirkan dampak sosiologis krusial, yang pada gilirannya dapat membahayakan stabilitas nasional. Berbagai penyakit sosial akan menjadi fenomena baru yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Kriminalitas, premanisme dan tindak kekerasan akan mening-kat tajam sejalan kian banyaknya jumlah pengangguran. Mereka yang frustrasi karena tak sanggup memenangkan kompetisi memperebutkan lapangan kerja akan terdorong menempuh berbagai jalan pintas negatif agar dapat bertahan dalam hidupnya. Dengan demikian di masyarakat akan lahir banyak masalah sosial. Kejahatan akan merajalela di jalanan, premanisme akan tumbuh subur di setiap sudut kota, anak-anak jalanan akan memenuhi perempatan lampu merah, jumlah siswa putus sekolah akan meningkat tajam karena tak sanggup membayar SPP, perumahan kumuh muncul di setiap tempat, dan kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin akan kian menganga. 
Solusinya adalah dengan kibajakan makro dan mikro, yang dimaksud kebijakan makro disini adalah keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya. Sedangkan yang dimaksud kebijakan mikro yakni, dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak, pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas, membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur, segera menyederhanakan perizinan, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara professional, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri., Peningkatan SDM melalui pendidikan.
REFRENSI

v     Abdul Kodir Muhammad, Ilmus Sosial Budaya Dasar, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005.
v     Darmansyah M., Ilmu Sosial dasar, Surabaya, Usaha Nasional, 1986.
v     Munandar Sulaeman, Ilmu Sosial Dasar : teori dan Konsep Ilmu social, Bandung, eresco, 1996.
v     Suryono Sukanto, Sosiologi : Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press, 1990.
v     Reza A dan A. Wattimena, “Paradoks Pengangguran, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2008.
v     Masduqi, T. "Menunggu Reformasi Lewat Politik", Prisma, Jakarta, 1996.
v     Kompas edisi 22 Maret 2008
v     www.detik.com
v     www.replubika.com


Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 comments: