SYAR’U MAN QOBLANA
Di presentasikan pada diskusi kelas
USHUL FIQIH
Dosen Pengampu : H. Abd. Basith Fauzan, M.Ag
Oleh : Kelompok 7
1. Nur Afifah Purnama Sari
2. Siti Nur Asrifah
3. Ilmiyah
4. Herni Winarti
5. Nur Mahmudah
6. Ismail
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
( S T I T )
Semester III
RADEN SANTRI GRESIK
2010
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.[1] Para ulama’ ushul telah menetapkan sejumlah kaidah-kaidah ushul yang wajib kita ketahui dan diperhatikan bagi mereka yang hendak istinbath hukum, dan juga memperhatikan hukum dari nash-nash, baik nash Al-Qur’an maupun Hadits serta illat hukumnya dari sesuatu masalah yang ada.
Telah diketahui bahwa syar’u man qablana adalah salah satu dari sekian banyak metode istinbat (penggalian) hukum Islam, walaupun tampak adanya warna-warna yang mengindikasikan syar’u man qablana hanya sebagai penguat teks-teks keagamaan dan bukan dijadikan sebagai petunjuk untuk menggali hukum, namun seringkali ia tetap dijadikan sebagai metode. Berkaitan dengan hal tersebut, para ahli ushul al-fiqh menggunakan syar’u man qablana untuk membedakan antara syari’at atau hukum sebelum Nabi Muhammad menjadi seorang rasul dan hukum di saat ia diutus sebagai rasul. Namun demikian, tampaknya para ahli uhsul al-fiqh memiliki perspektif yang berbeda dalam memandang syar’u man qablana. Perbedaan tersebut tampak ketika mereka membahas keterikatan Nabi Muhammad setelah menjadi Nabi dan pengikutnya terhadap syari’at-syari’at sebelumnya.
Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih dipeselisihkan oleh para ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al -Quran dan Sunnah, serta Ijma’ dan Qiyas (aplikasi keduanya tetap berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan antar ulama yaitu: Marsalah Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi, dan Syar’u Man Qablana[2]
Sudah maklum di hadapan kita semua bahwa Muhammad Bin Abdullah adalah sosok figur yang Ma’shum(terjaga dari perbuatan dosa sebelum dan sesudah terutus), karena beliau adalah seorang Nabi, Nabi terakhir yang diutus kepada semua umat manusia dilapisan dunia ini. Beliau juga sosok yang rajin dan taat dalam beribadah. Beliau juga tak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya, lingkungan orang-orang Jahiliyah yang suka minuman keras, dan main perempuan. Namun terdapat keganjalan dibenak kita terkait dengan peribadatan beliau. Benarkah beliau mengikuti syariat Nabi sebelumnya, sebelum beliau diutus? Kalau benar, syariat Nabi siapa yang diikuti oleh beliau?.
Maka dalam kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang syar’u man qoblana (syariat-syariat sebelum kita), berkaitan dengan apa saja syariat tersebut, bagaimana hukumnya untuk saat ini dan apa yang mendasarinya, semoga makalah kami yang ringkas ini dapat bermanfaat bagi kita semua sehingga nantinya dapat menambah sedikit keilmuan kita mengenai syariat nabi-nabi sebelum kita
II. Rumusan Masalah
- Apa yang dimaksud Syar’u man qoblana?
- Bagaimana bentuk dan hukum yang berlaku bagi syar’u man qoblana?
- Bagaimana kita harus menyikapi hal tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
I. Definisi dan dasar hukum Syar’u Man Qoblana
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul[3]
Ada juga yang mendefinisikan Syariat yang Allah turunkan pada tiap Nabinya untuk didakwahkan pada masing-masing umatnya yang dibenarkan dengan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, namun kesemuanya berujung bahwa Syar’u Man Qablana adalah syariat yang ada sebelum nabi muhammad S.A.W.
Pada asas syari'at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman Allah SWT:
* tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR ü“Ï%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7ø‹s9Î) $tBur $uZøŠ¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºt�ö/Î) 4Óy›qãBur #Ó|¤ŠÏãur ( ÷br& (#qãKŠÏ%r& tûïÏe$!$# Ÿwur (#qè%§�xÿtGs? ÏmŠÏù 4 uŽã9x. ’n?tã tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# $tB öNèdqããô‰s? ÏmøŠs9Î) 4 ª!$# ûÓÉ<tFøgs† Ïmø‹s9Î) `tB âä!$t±o„ ü“ωöku‰ur Ïmø‹s9Î) `tB Ü=‹Ï^ムÇÊÌÈ
Artinya:
"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (asy-Syuûra: 13)[4]
Diantara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa, hukuman qishash dan sebagainya.
II. Ibadah Nabi Muhammad Sebelum Diutus
Terkait dengan ketika nabi belum mendapat kitab Al-Quran, beliau beribadah mengikut syari’at siapa, maka ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa beliau sebelum diutus mengikuti mengikuti syari’at nabi sebelumnya, yaitu sebagian kalangan Malikiyah, penetap ini masih berbeda juga dalam menentukan syari’at yang diikuti beliau tersebut.[5]
· Syari’at Nabi Adam AS sebagai syariat pertama.
· Syari’at Nabi Nuh AS, dengan landasan firman Allah :
(شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا)
· Syari’at Nabi Ibrahim AS dengan dua firman Allah :
“إن أولى الناس أولى الناس بابراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي" أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا
· Syari’at Nabi Musa AS.
· Syari’at Nabi Isa AS, dengan alasan bahwa Nabi Isa adalah nabi yang jarak terutusnya paling dekat dengan Nabi Muhammad.
Dan dari sekian pendapat di atas Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS, ada juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun, ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan al-Baidhowi. Dan ada sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy.[6] mengatakan bahwa ulama Mutakallimin telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapapun. Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan.
III. Hakikat Syar’u man Qablana
Istilah syar’u man qablana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya syari’at-syari’at sebelum Islam sebagai agama ketika dilahirkan. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam)[7]. Khallaf [8]menyebutkan bahwa sya’u man qablana adalah berhubungan dengan “mâ syara‘aha Allah liman sabaqana min al-umam” (syari’at yang telah diturunkan Tuhan kepada orang-orang yang telah mendahului kita (hukum-hukum para Nabi terdahulu).
Berkaitan dengan posisi syar’u man qablana, Zuhaili menyatakan bahwa dengan diutusnya Muhammad sebagai nabi pada tahun 611 Masehi, maka sejak itu pula bahwa syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Kendati demikian, Zuhaili juga mengatakan bahwa keadaan seperti itu masih menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, khususnya berkaitan dengan keterikatan Nabi Muhammad secara pribadi dengan syari’at sebelumnya dan sesudah ia menjadi Nabi, termasuk pula di dalamnya pengikut-pengikut Nabi Muhammad sampai sekarang.[9]
VI. Macam-Macam Syar'u Man Qablana
Sesuai dengan ayat di atas, kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
a. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi aI-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
b. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu
c. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa
Mengenai bentuk ketiga, yaitu syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita al-Qur'an dan Hadits, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan inilah golongan Nafifiyah berpendapat bahwa membunuh orang dzimmi sama hukumnya dengan membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hukum itu berdasar ayat 45 Surat aI-Mâidah. Mengenai pendapat golongan lain ialah menurut mereka dengan adanya syari'at Nabi Muhammad SAW, maka syari'at yang sebelumnya dinyatakan mansukh/tidak berlaku lagi hukumnya.[10]
Mengenai bentuk kedua, para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah, sedang bentuk pertama ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan syari'at Nabi Muhammad SAW.
V. Kontribusi Syar’u man Qablana di Masa Identifikasi Hukum Islam
Sejak syar’u man qablana diangkat ke permukaan untuk selanjutnya dijadikan sebagai metode, maka sebagai sebuah pembatas (takhsis) sekaligus nasikh terhadap syari’at-syari’at terdahulu kontribusi syar’u man qablana bukan merupakan sebuah kontribusi yang dapat dipandang sebelah mata. Justru dengan adanya metode istinbat seperti ini, umat Islam, terutama pada masa pengidentifikasian hukum Islam masa itu bahkan masyarakat muslim sekarang memperoleh kepastian hukum dengan cara mengindentifikasi syari’at-syari’at yang dibatalkan dan syari’at-syari’at yang masih berlaku.
Identifikasi hukum tersebut bisa dibaca dalam ayat-ayat Alqur’an yang secara tekstual menyebut syari’at umat terdahulu, kemudian hal ini dipahami kembali oleh para ahli ushul al-fiqh sebagai bukti peran dan kiprah syar’u man qablana dalam percaturan hukum Islam kala itu. Misalnya Q.S. al-An’am ayat 146 yang sebagai berikut :[11]
’n?tãur šúïÏ%©!$# (#rߊ$yd $oYøB§�ym ¨@à2 “ÏŒ 9�àÿàß ( šÆÏBur Ì�s)t7ø9$# ÉOoYtóø9$#ur $oYøB§�ym öNÎgø‹n=tæ !$yJßgtBqßsä© žwÎ) $tB ôMn=yJym !$yJèdâ‘qßgàß Írr& !$tƒ#uqysø9$# ÷rr& $tB xÝn=tG÷z$# 5OôàyèÎ/ 4 y7Ï9ºsŒ Oßg»oY÷ƒz•y_ öNÍkÈŽøót7Î/ ( $¯RÎ)ur tbqè%ω»|Ás9 ÇÊÍÏÈ
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku. Sedangkan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar”.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam Yahya yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Musa cara menebus dosa (bertobat) atas kesalahan yang telah dilakukan adalah dengan bunuh diri.[12] Setelah Islam datang, syari’at tersebut kemudian tidak berlaku lagi (mansukh) dengan turunnya ayat pada Q.S. hud ayat
Berdasarkan pesan dalam ayat di atas, umat Muhammad yang ingin menebus dosa cukup berhenti melakukan perbuatan yang dipandang memiliki konsekuensi dosa dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan dengan dibuktikan secara nyata adanya tekad yang terealisasi secara empiris bahwa perbuatan dosa tersebut tidak diulangi lagi. Begitu juga dengan kotoran yang dipandang najis apabila mengenai salah satu pakaian. Dalam syari’at terdahulu pakaian tersebut harus dipotong sesuai dengan bagian pakaian yang kena najis. Namun setelah Islam lahir, kewajiban seperti ini tidak ditetapkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Kenyataan ini dapat dilihat pada Q.S. al-muddatssir ayat 4
Berdasarkan ayat-ayat Al-qur’an di atas, para ahli ushul al-fiqh dapat menentukan dengan mudah bahwa syar’u man qablana semacam itu sudah tidak berlaku lagi karena telah dibatalkan atau diganti (mansukh) oleh ayat Al-qur’an sendiri yang nota bene merupakan syari’at Nabi Muhammad.
Selain itu, terdapat pula kontribusi Syar’u man Qablana dalam bentuk lain yang tampak berlawanan dengan bentuk di atas. Pada bentuk itu, syari’at Islam membatalkan syari’at terdahulu, namun pada bentuk kedua ini justru Nabi Muhammad dan umatnya mewarisi dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh umat terdahulu. Di antara warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. al-baqoroh ayat 183
Warisan lain yang ditetapkan untuk umat Nabi Muhammad adalah perintah berkurban yang sebelumnya pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim. Ketentuan itu tetap diberlakukan untuk Muhammad dan umatnya berdasarkan pernyataan Nabi Muhammad sendiri melalui sabdanya:
“Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, yaitu Ibrahim”.
Kedua persoalan hukum di atas tampak mudah diselesaikan dengan metode syar’u man qablana, bahkan tampaknya tanpa adanya metode tersebut dimungkinkan hukum-hukum di atas dapat diidentifikasi karena adanya penjelasan kongkrit yang secara eksplisit sudah dijelaskankan Tuhan melalui ayat-ayat Alqur’an. Kendati demikian, pernyataan ini bukan berarti bahwa syar’u man qablana telah kehilangan peran dalam metodologi usul al-fiqh, tetapi justru pentingnya syar’u man qablana adalah untuk menentukan dan menyelesaikan kemulut persolan yang dihadapi oleh para ahli usul al-fiqh, terutama yang berkaitan dengan adanya dalil normatif yang diterima Nabi Muhammad seraya menceritakan sebuah peraturan tentang kewajiban umat terdahulu, namun tidak ditemukan ketentuan yang menghendaki peraturan tersebut tetap diberlakukan atau dibatalkan, baik dari dalil itu sendiri atau pada dalil lain. Misalnya Q.S.al-Maidah ayat 32 yang menyebutkan:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Begitu juga pada Q.S. al-Maidah ayat 45 yang artinya sebagai berikut:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan adanya kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak. Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Alqur’an yang nota bene merupakan kitab suci umat Islam.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi mengatakan bahwa syari’at terdahulu yang tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam adalah tidak berlaku bagi umat Islam sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya.[13] Namun yang populer dari pendapat Bazdawi adalah tentang anggapannya yang menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan syari’at karena ia dituliskan kembali dalam Alqur’an, sehingga ia telah menjadi syari’at Muhammad. Hal ini ditanggapi berbeda oleh Hazm yang mengatakan bahwa bentuk syari’at seperti itu hanya merupakan nass atau teks semata yang tidak perlu diamalkan[14]
Sedangkan Syairazi mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak semakin berkembang dengan adanya 3 kelompok yang berkiprah memberikan pendapat yakni: 1) bukan sebagai syari’at umat Islam, 2) sebagai syari’at Islam, kecuali adanya dalil yang membatalkannya, 3) semua syari’at terdahulu, baik syari’at Ibrahim, syari’at Musa (kecuali yang telah di-naskh oleh syari’at Isa), dan syari’at Isa sendiri adalah syari’at Islam.[15]
Terhadap perbedaan pendapat ini, Asnawi menjelaskan bahwa dalam persoalan tersebut telah ada kesepakatan mayoritas ahli ushul al-fiqh, termasuk di dalam dalamnya Fakhruddin ar-Razi, Saifuddin al-Amidi, Baidawi, dan sebagian ulama Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa syari’at umat terdahulu yang tidak ada kepastian untuk umat Muhammad, tidak dipandang sebagai syari’at Islam. Hal yang senada juga terdapat dalam Khallaf (1978: 94) yang mengatakan bahwa syari’at Islam me-naskh syari’at terdahulu, kecuali adanya penegasan bahwa syari’at tersebut berlaku juga bagi umat Islam. Pendapat yang serupa juga dapat ditemukan dalam Zuhaili dengan menambahkan bahwa sebagian ahli ushul al-fiqh mazhab Maliki dan mayoritas ulama ilmu kalam menyatakan penolakannya terhadap syari’at tersebut.[16]
Selain itu, Khallaf juga menceritakan bahwa mayoritas ahli ushul al-fiqh mazhab Hanafi, sebagian ahli ushul al-fiqh mazhab Maliki dan Syafi’i, berpendapat bahwa syari’at yang demikian itu diakui dan termasuk dalam syari’at Islam serta kewajiban umat Islam untuk mengikuti dan mengimplementasikan syari’at tersebut selama tidak adanya dalil normatif yang secara jelas me-nasakh-nya. Karena, demikian diceritakan Khallaf, syari’at yang diperdebatkan tersebut adalah hukum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para rasul-Nya dan Muhammad juga termasuk dalam perintah tersebut. Selain itu, salah satu alasan Alqur’an itu diwahyukan adalah untuk membenarkan adanya kitab-kitab yang diturunkan pada umat sebelumnya, seperti Taurat dan Injil. Oleh karena itu apabila tidak ada ketentuan Alqur’an yang me-nasakh syari’at terdahulu, berarti ia diakui di dalam syari’at Islam.
Apabila mengkaji kembali pemikiran para ahli ushul al-fiqh di atas, maka sebagai pemeluk Islam yang hidup di zaman sekarang, tentunya memiliki pilihan di antara dua pilihan sebagai salah satu langkah ittiba’ atau memiliki pemikiran lain yang juga tidak terlepas dari dua macam pemikiran di atas. Namun apabila dihadapkan pada pilihan sebagaimana yang disebutkan di atas dan diharuskan untuk memilih, penulis lebih cenderung mengikuti pemikiran para ahli ushul al-fiqh yang pertama, yakni tidak menerima syari’at-syari’at terdahulu, khususnya yang berkaitan dengan tidak adanya penegasan untuk diikuti. Bahkan di sini penulis juga lebih cenderung melihat syari’at Islam terdahulu yang disebutkan dalam Al-qur’an (sebagaimana yang dicontohkan pada Q.S. 5: 32 dan 45 di atas) hanyalah sekedar menceritakan kondisi hukum pada zaman itu. Hal ini juga sekaligus menjelaskan bahwa hokum itu diberlakukan sesuai dengan karakteristik, adat, sosial dan budaya masyarakat yang hidup pada waktu itu. Oleh karena itulah, penulis lebih cenderung penggunaan metode syar’u man qablana hanya dimaksudkan untuk dapat mengidentifikasi hukum-hukum yang sesuai dengan karakteristik masyarakat yang berkembang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai individu yang memiliki hak hidup.
VI. Eksistensi Syar’u Man Qablana dalam Kajian Hukum Islam Sekarang
Penentuan posisi dan eksistensi syar'u man qablana di masa sekarang dinilai sangat penting. Selain untuk mempertahankan kelestarian sebuah metode, juga agar hukum Islam akan dapat berdialog dengan segala perubahan zaman dan peradaban. Mewujudkan cita-cita tersebut tentunya tidak lepas dari pemahaman maqasid al-syari'ah (upaya yang dilakukan untuk memahami tujuan dan maksud Tuhan dan Nabi dalam menetapkan hukum). Adanya pemahaman terhadap maqasid al-syari'ah tentunya untuk mewujudkan kemaslahatan baik di dunia atau pun di akhirat. Bakri mengatakan bahwa kebaikan antara di dunia dan di akhirat tidak berbeda, bahkan dapat berjalan secara bersamaan.[17]
Kebaikan yang dimaksud adalah, harus diorientasikan pada ruang lingkup kemaslahatan atau kebaikan yang bersifat dharûriyyah (kepentingan esensial/kebutuhan primer manusia), hâjiyyah (kepentingan sekunder yang diperlukan untuk menghindari kesulitan dan apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka tidak sampai merusak kehidupan manusia, karena ia bersifat rukhsah), dan tahsîniyyah (kepentingan penunjang yang hanya mengandung kemaslahatan dalam meningkatkan martabat seseorang dalam masyarakat yang apabila kepentingan ini tidak terpenuhi, tidak akan mempersulit dan merusak kehidupan manusia). Kendati pun adanya kepentingan berkelas seperti di atas, semua itu dalam rangka memelihara agama, akal, jiwa, keturunan dan harta.
Syar'u man qablana juga tidak terlepas dari maqasid al-syari'ah, karena untuk menentukan apakah konsep atau materi hukum yang ditetapkan bagi umat-umat terdahulu dan juga hukum pada zaman Nabi tampak masih relevan atau tidak dengan perkembangan zaman sekarang diperlukan adanya pemahaman terhadap maqasid al-syari'ah. Dari sini dapat diharapkan syar’u man qablana dapat membuktikan eksistensinya sebagai metode di antara metode-metode lain, karena memang antara satu metode dengan metode lain dalam usul al-fiqh terkadang senapas untuk menyelesaikan setiap persoalan hukum.
Berkaitan dengan masalah maqasid al-syari’ah, penting dicatat perdebatan mengenai qath’i dan zhanni. Menurut Khallaf bahwa dalam Al-qur’an terdapat kategori qath’i dan zhanny. Qath’i adalah suatu lafaz yang mengandung satu interpretasi dan tidak terdapat kemungkinan makna lain selain interpretasi itu sendiri. Sedangkan zhanny adalah kebalikan dari qath’i, yakni lafaz dapat diinterpretasikan kepada berbagai macam interpretasi sesuai dengan kaidah yang berlaku. Selain itu zhanny juga dapat direinterpretasi (takwil) apabila diperlukan.[18]
Berdasarkan pandangan para ahli usul al-fiqh sebagaiman dikemukakan di atas, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa semua itu adalah hasil konsentrasi nalar yang dilakukan secara bersungguh-sungguh, yang tentunya kedua pandangan tersebut menginginkan ditemukannya kebenaran.
telah disebutkan di atas bahwa pola tobat dan penyucian najis di zaman Nabi Musa berbeda dengan zaman Nabi Muhammad. Terjadinya perbedaan syari'at ini disebabkan kurang relevannya syari’at-syari’at para nabi terdahulu jika diterapkan pada zaman Nabi Muhammad. Begitu juga di antara syari’at-syari’at yang berlaku pada masa Nabi Muhammad ada yang kurang relevan lagi untuk dilaksanakan pada zaman sekarang. Dengan demikian, syar’u man qablanâ pada masa Nabi Muhammad adalah syari’at umat terdahulu, sedangkan syar’u man qablanâ bagi umat Islam sekarang ini adalah syari’at yang berlaku pada masa Nabi Muhammad. Syari’at yang berlaku sekarang disebut sebagai syar’un lanâ.
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
· Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul, Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS sbelum mendapat kitab al-Qur’an.
· Hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam), syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Syar’u Man Qablana ada tiga macam bentuknya, yang di nasakh, yang di lanjutkan dan yang di biarkan saja. Ada beberapa pandangan dalam memahami syar'u man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas (takhsis), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan syari'at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil normatif dalam Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal tersebut. Selain itu, ada juga ketentuan syar'u man qablana yang ditulis kembali dalam Alqur’an tetapi tidak ditemukan ayat lain yang memberlakukan atau membatalkannya. Terhadap permasalahan ini, terjadi perbedaan pandangan, ada yang memandang hal tersebut sebagai syari'at Islam ada pula yang memandang sebaliknya.
· Kini syar'u man qablana akan lebih tepat jika dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman sekarang, tentunya semuanya itu berdiri di atas kemaslahatan umat muslim secara keseluruhan dan ditopang oleh pemahaman terhadap maqashid al-syari'ah guna memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Aplikasi dari kontekstualisasi syar'u man qablana adalah dengan cara memposisikan kembali syar'u man qablana sebagai sebuah metode dengan teknik bahwa syari'at-syari'at Nabi Muhammad dipandang sebagai syar'u man qablana bagi umat Muslim yang hidup di zaman sekarang. Di antara syari'at-syari'at tersebut ada yang masih berlaku, ada pula yang tidak berlaku. Upaya ini dilakukan tidak dengan cara mengganti teks-teks normatif, melainkan hukum yang terkandung dalam teks normatif tersebut dikontekstualisasikan dengan zaman sekarang
Daftar pustaka
· Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta , DEPAG, 2007
· Bazdawi, Ali bin Muhammad. t.t. Ushûl Bazdawî: Kanzû al-Wushûl ilâ Ma'rifati al-Ushûl, Karatisy: Jawid Baris
· Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta : Raja Grafindo Persada
· Cholil, Harisuddin, M. Ag. 2003. Ushul Fiqh I. Nganjuk: STAIM Press
· Ghazali, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad., 2000, al-Mustashfâ fî Ilm al-Ushûl. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
· Hanafie . A . 1993 . Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma
· Hazm, Ibnu. 1404. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Juz 5, Kairo: Dâr al-Hadits
· Khallaf, Abdul Wahhab. 1978. Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo : Dar al-Qalam
· Nuruddin, Amiur. 1991. Ijtihad Umar bin al-Khaththab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers
· Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung : al-Ma'arif
· Zuhaily, Wahbah. 2001. Ushûl al-Fiqh al-Islâmy, Jilid 1 dan 2, Syuriah: Dâr al-Fikr
[1] Hanafie . A . Ushul Fiqh, Widjaya Kusuma, Jakarta 1993, hal 3
[2] Nuruddin, Amiur.. Ijtihad Umar bin al-Khaththab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1991, hal 26
[3] Duktur Wahabah al-Zuaily, al-Wajiz Fi Ushuli al-Fiqh, hal, 101
[4] Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta , DEPAG, 2007
[5] Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 389
[6] Imam al-Haramain, Attalkhish Fi Ushuli al-Fiqh, Cet 1, Hal, 256,257
[7] Ghazali, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. al-Mustashfâ fî Ilm al-Ushûl. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000, hal 165
[8] Khallaf, Abdul Wahhab. 1978. Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo : Dar al-Qalam, hal. 93
[9] Zuhaily, Wahbah. 2001. Ushûl al-Fiqh al-Islâmy, Jilid 1 dan 2, Syuriah: Dâr al-Fikr hal, 867
[10] Drs. Moh. Harisuddin Cholil, M. Ag. 2003. Ushul Fiqh I. Nganjuk: STAIM Press. Hal 34
[11] Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta , DEPAG, 2007
[12] Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung : al-Ma'arif, 1993. hal. 114
[13] Bazdawi, Ali bin MuhammadUshûl Bazdawî: Kanzû al-Wushûl ilâ Ma'rifati al-Ushûl, Karatisy: Jawid Baris. t.t. hal 232
[14] Hazm, Ibnu. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Juz 5, Kairo: Dâr al-Hadits, 1404.hal 149
[15] Syairazi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuz Abadi al. Al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh, Damaskus: Dar al-Fikr. 1403
[16] Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo : Dar al-Qalam. 1978, hal 94
[17] Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996. hal 64
[18] Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo : Dar al-Qalam, 1978. hal 34-35
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
0 comments:
Post a Comment