BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum  muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang  harus mereka imani dan aplikasikan dalam kehidupan mereka agar mereka  memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah  berlebihan jika selama ini kaum muslimin tidak hanya mempelajari isi dan  pesan-pesannya. Tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk  menjaga otentitasnya. Upaya itu telah mereka laksanakan sejak Nabi  Muhammad Saw masih berada di Mekkah dan belum berhijrah ke Madinah  hingga saat ini. Dengan kata lain upaya tersebut telah mereka laksanakan  sejak al-Qur’an diturunkan hingga saat ini. Mengenai mengerti asbabun  nuzul sangat banyak manfaatnya. Karena itu tidak benar orang-orang  mengatakan, bahwa mempelajari dan memahami sebab-sebab turun 
         al-Qur’an itu tidak  berguna, dengan alasan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat  al-Qur’an itu telah masuk dalam ruang lingkup sejarah. Di antara  manfaatnya yang praktis ialah menghilangkan kesulitan dalam memberikan  arti  ayat-ayat al-Qur’an.
Imam al-Wahidi menyatakan; tidak  mungkin orang mengerti tafsir suatu ayat, kalau tidak mengetahui  ceritera yang berhubungan dengan ayat-ayat itu, tegasnya untuk  mengetahui tafsir yang terkandung dalam ayat itu harus mengetahui                sebab-sebab ayat  itu diturunkan.
Ulama salaf tatkala terbentur kesulitan dalam memahami ayat,  mereka segera kembali berpegang pedoman asbabun nuzulnya. Dengan cara  ini hilanglah semua kesulitan yang mereka hadapi dalam mempelajari  al-Qur’an tentang “Asbabun Nuzul”.
Dalam hal ini penulis mencoba  menuangkan dalam bentuk makalah yang berjudul “ASBABUN NUZUL”  dengan harapan semoga makalah ini dapat menambah keimanan dan keilmuan  kita baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amien.
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Al-Qur’an Menurut Bahasa
Al-Qur’an Menurut  Bahasa
Di kalangan para ulama dan pakar bahasa Arab tidak ada  kesepakatan tentang ucapan, asal pengambilan dan arti kata al-Qur’an.[1]  Di antara mereka berpendapat bahwa kata al-Qur’an itu harus diucapkan  tanpa huruf hamzah. Termasuk mereka yang berpendapat demikian adalah  al-Syafi’i[2]  al-Farra[3]  dan al-Asy’ari[4].  Para pakar lain berpendapat bahwa kata al-Qur’an tersebut harus  diucapkan dengan memakai huruf hamzah. Termasuk mereka yang berpendapat  seperti ini adalah al-Zajjaj[5]  dan al-Lihyani.[6]
B.     Definisi Al-Qur’an
Kalau berkenaan  dengan al-Qur’an menurut bahasa, para ulama telah berbeda pendapat,  demikian pula sikap mereka dalam memberikan definisinya. Misalnya, Prof.  DR. Syekh mahmud Syaitut mendifinisikan al-Qur’an dengan:
اللفظ العربي المنزل على  نبينا محمد صلى الله عليه وسلم المنقول إلينا بالتواتر[7]
Artinya:    “Lafaz  Arab yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw dan disampaikan kepada  kita secara mutawatir.”
Al-Qur’an juga mengandung sebab-sebab  diturunkannya suatu ayat yang dikenal dengan istilah “Asbabun Nuzul”.  Tetapi dalam keseluruhan isi al-Qur’an, tidak semuanya ada ayat yang  mengandung asbabun nuzul, hanya sebagian ayat saja.
C.     Pengertian Asbabun Nuzul
Secara etimologis,  asbabun nuzul ayat itu berarti sebab-sebab turun ayat. alam pengertian  sederhana turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, sehingga  tanpa adanya peristiwa itu, ayat tersebut itu tidak turun.[8]  Sedangkan menurut Subhi Shalih misalnya menta’rifkan (ma’na) sababun  nuzul ialah:
ما نزلة الأية او الآيات  بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة لحكمه زمن وقوعه.[9]
“Sesuatu yang dengan sebabnyalah  turun sesuatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau  memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan hukumnya; pada masa  terjadinya peristiwa itu.”
Yakni, sesuatu kejadian yang terjadi  di zaman Nabi Saw, atau sesuatu pertanyaan yang dihdapkan kepada Nabi  dan turunlah suatu atau beberapa ayat dari Allah Swt yang berhubungan  dengan kejadian itu, atau dengan penjawaban pertanyaan itu baik  peristiwa itu merupakan pertengkaran, ataupun merupakan kesalahan yang  dilakukan maupun merupakan suatu peristiwa atau suatu keinginan yang  baik.
Definisi yang dikemukakan ini dan yang diistilahi, menghendaki  supaya  ayat-ayat al-Qur’an, dibagi dua:
- Ayat yang  ada      sebab nuzulnya.
 - Ayat yang       tidak ada sebab nuzulnya.
 
Memang demikianlah  ayat-ayat al-Qur’an. Ada yang diturunkan tanpa didahului oleh sesuatu  sebab dan ada yang diturunkan sesudah didahului sebab.[10]  Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab  turun setiap ayat, karena tidak semua ayat al-Qur’an diturunkan. Karena  timbul suatu peristiwa dan kejadian.[11] Oleh karena itu, tujuan studi al-Qur’an mencakup beberapa  permasalahan yang hendaknya harus dipelajari bukan saja masalah asbabun  nuzul. Tetapi juga mempelajari masalah bagaimana cara membaca al-Qur’an,  bagaimana tafsirnya dan juga tidak kalah penting masalah nasakh dan  mansukh,[12] 
Pembahasan dimensi sejarah.  Kisah-kisah al-Qur’an ini tidak dimaksudkan untuk mempelajari makna  historis kisah-kisah al-Qur’an. Namun di sini akan mencoba mengungkapkan  nilai historis sejarah turunnya suatu ayat.[13] Ada perselisihan pendapat di antara ulama tafsir, pada  ungkapan sahabat: “Turunnya ayat ini dalam kasus begini”. Apakah  pengertian ini masuk dalam musnad yakni sesuai bila disebutkan dengan  tegas, bahwa turunnya ayat ini berkaitaan erat dengan kasus tersebut.[14] Jadi masalah mempelajari turunnya suatu ayat bukan hanya  dipahami sebagai doktrin normatif semata, tetapi juga harus dapat  dikembangkan menjadi konsepsi operatif.[15]
D.    Latar Belakang Turunnya Ayat
Di antara sekian  banyak aspek yang banyak memberikan peran dalam menggali dan memahami  makna-makna ayat al-Qur’an ialah mengetahui sebab turunnya. Oleh karena  itu, mengetahui asbabun nuzul menjadi obyek perhatian para ulama. Bahkan  segolongan diantara mereka ada yang mengklarifikasikan dalam suatu  naskah, seperti Ali Al-Maidienie, guru besar imam Bukhari.
Dari sekian banyak  kitab dalam masalah ini, yang paling terkenal ialah: karangan  Al-Wahidie, Ibnu Hajar dan As-Sayuthi. Dan As-Sayuthi telah menyusun  dalam suatu kitab besar dengan judul “Lubaabun Nuquul fie Asbabin  Nuzuul”.
Boleh dikata, untuk mengetahui secara  mendetail tentang aneka corak         ilmu-ilmu  al-Qur’an serta pemahamannya, tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui  asbabun nuzuul[16] seperti pada firman Allah :
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 cÎ) ©!$# ììźur ÒOÎ=tæ ÇÊÊÎÈ[17] 
Artinya:    “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka  kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah”. (Q.S. Al-Baqarah: 115)
Ayat ini kadang  kala diartikan, boleh menghadap ke arah mana pun saja selain kiblat.  Pengertian ini jelas salah, sebab di antara syarat sahnya sembahyang  ialah menghadap kiblat.
Akan tetapi dengan mengetahui  sebab-sebab turunnya, akan jelas pengertian ayat ini, di mana ayat ini  diturunkan bagi siapa yang sedang di tengah perjalanan dan tidak tahu  mana arah kiblat. Maka ia harus berijtihad dan menyelidiki, kemudian  sembahyang kemana saja ia menghadap, sahlah shalatnya. Dan tidak  diwajibkan kepadanya bersembahyang lagi setelah bersembahyang apabila  ternyata salah.
E.     Ilmu Asbabun Nuzul
Allah menjadikan  segala sesuatu melalui sebab-musabbab dan menurut  suatu  ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan melihat cahaya kehidupan  tanpa melalui sebab-musabbab dan berbagai tahap perkembangan. Tidak  sesautu pun terjadi di dalam wujud ini kecuali setelah melewati  pendahuluan dan perencanaan. Begitu juga perubahan pada cakrawala  pemikiran manusia terjadi setelah melalui persiapan dan pengarahan.  Itulah sunnatullah (hukum Allah) yang berlaku bagi semua  ciptaan-Nya, “dan engkau tidak akan menemukan perubahan pada  sunnatullah” (al-Ahzab, 62).
Tidak ada bukti yang menyingkap  kebenaran sunnatullah itu selain sejarah, demikian pula penerapannya  dalam kehidupan. Seorang sejarahwan yang berpandangan tajam dan cermat  mengambil kesimpulan, dia tidak akan sampai kepada fakta sejarah jika  tidak mengetahui sebab-musabbab yang mendorong terjadinya peristiwa.
Tapi tidak hanya  sejarah yang menarik kesimpulan dari rentetan peristiwa yang  mendahuluinya, tapi juga ilmu alam, ilmu sosial dan kesusastraan pun  dalam pemahamanya memerlukan sebab-musabbab yang melahirkannya, di  samping tentu saja pengetahuan tentang prinsip-prinsip serta maksud  tujuan.[18]
F.      Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Pedoman dasar para  ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal  dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Itu disebutkan pemberitahuan  seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan  sekedar pendapat, tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada  Rasulullah. Al-Wahidie mengatakan, “Tidak halal berpendapat mengenai  asbabun Nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau  mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya,  mengetahui sebab-sebabnya dan membahasnya tentang pengertiannya serta  bersungguh-sungguh dalam mencarinya”. Al-Wahidie telah menentang  ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun  nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan  ancaman berat, dengan mengatakan “Sekarang setiap orang suka  mengada-ngada dan berbuat dusta: ia menempatkan kedudukannya dalam  kebodohan, tanpa memikirkan acaman berat bagi orang yang tidak  mengetahui sebab turunnya ayat”.[19]
G.    Kisah Nuzulnya Ayat
Menanamkan sebab  turunnya ayat dengan kisah nuzulnya ayat, sungguhlah mengisyaratkan  kepada dzauq yang tinggi. Sebenarnya, asbabun nuzul tidaklah lain  daripada kisah yang dipetik dari kenyataan dan kejadian, baik mengenai  peristiwanya, maupun mengenai orang-orangnya. Dan kisah nuzul  menimbulkan kegemaran untuk membaca kisah itu di setiap masa dan tempat,  serta menghilangkan kejemuan, karena merasakan bahwa kisah-kisah  (kejadian-kejadian itu) seolah baru saja terjadi.[20]
H.    Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang  Beberapa Riwayat Mengenai (Asbabun Nuzul)
Terkadang terdapat banyak riwayat  mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap seorang  mufasir kepadanya sebagai berikut:
1.      Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas,  seperti: “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, atau “Aku mengira ayat  ini turun mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi  di antara             riwayat-riwayat itu. Sebab  maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa  hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan  menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi  pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab  nuzulnya.
2.      Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu  tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun mengenai urusan ini”. Sedang  riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda  dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang  menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang  termasuk di dalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang asbabun  nuzul.
“istri-istrimu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam,  maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu  kehendaki”. (Q.S. Al-Baqarah, 2 : 223)
Dari nafi disebutkan “Pada suatu hari  aku membaca (istri-istri adalah ibarat tempat kamu bercocok tanam),  maka kata Ibnu Umar: “Tahukah engkau mengenai apa ayat ini diturunkan?”  Aku menjawab: “Tidak”, ia berkata ayat ini turun mengenai persoalan  mendatangi istri dari belakang”.[21]
Bentuk redaksi riwayat dari Ibnu Umar  ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul. Sementara itu terdapat  riwayat yang sangat tegas menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan  dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan              orang-orang Yahudi berkata: “Apabila seorang laki-laki  mendatangi istrinya dari arah belakang maka anaknya nanti akan bermata  juling”, maka turunlah ayat tersebut”.[22]
Maka Jabir inilah yang dijadikan  pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang asbabun  nuzul. Sedangkan ucapan Ibnu Umar, tidaklah demikian. Karena itulah ia  dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
Diriwayatkan oleh  Ibnu jarir, Abu Ya’la, Ibnu Mardaweh, Bukhari,           Ath-Thabrany  dalam Al-Ausath bahwa pada masa Nabi Saw ada seorang laki-laki  mendatangi istrinya dari arah belakang, kemudian orang-orang  membencinya. Kemudian turunlah ayat 223 surah al-Baqarah. Dari beberapa  riwayat tersebut jelaslah terdapat beberapa perbedaan tentang turunnya  suatu ayat. Namun apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan  sebab nuzul, sedang salah satu riwayat di antaranya itu shahih, maka  yang menjadi pegangan adalah riwayat yang shahih.
BAB III
P E N U T U P
A.     Kesimpulan
- Al-Qur’an       merupakan mu’jizat terbesar yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi  Muhammad      Saw dengan perantaraan Malikat Jibril As. disampaikan  secara mutawatir dan      bernilai ibadah bagi yang membacanya baik di  dalam shalat maupun di luar      shalat. Al-Qur’an yang memiliki  cita-cita para Nabi, dan menguraikan      masalah hukum-hukum dan  lain-lain ternyata ayat tersebut memiliki kekhasan      tersendiri, di  antaranya:
 
a.       Masalah asbabun nuzul ayat yaitu sebab-sebab  ayat-ayat al-Qur’an diturunkan.
b.      Adapun asbabun nuzul mempunyai ruang lingkup pembahasan yang  berkaitan langsung dengan peristiwa diturunkannya ayat al-Qur’an  terutama dalam hubungan peristiwa dan ungkapan kata, baik teks ayat,  maupun redaksi ayat.
- Asbabun  nuzul      juga mengungkapkan ilmu tentang turunnya ayat-ayat            al-Qur’an dimana para ulama      berpedoman  langsung kepada riwayat yang shahih yang berasal dari Nabi Saw      atau  dari shabat sejak zaman tarikh Islam klasik yang berisikan       kisah-kisah nuzulnya ayat mengenai asbabun nuzulnya suatu ayat terkadang       para ulama telah terjadi perbedaan pendapat, misalnya:
 
a.       Apabila bentuk-bentuk redaksi ayat itu tidak tegas, seperti  “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini” maka dalam hal ini  tidak ada kontradiksi.
b.      Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas,  seperti “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, sedang riwayat lain  menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat  pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan  sebab nuzul secara tegas, dan riwayat yang lain dipandang termasuk di  dalam hukum ayat.
c.       Para perawi dan kita sekarang dapat membaca  dan meneliti keabsahan berita tentang turunnya ayat-ayat al-Qur’an itu,  dan dengan demikian dapat memahami al-Qur’an dengan baik. Itulah  urgensinya mengetahui asbabun nuzul.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aththar,  Dawud, Dr., Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, Pengantar DR. M. Quraish  Shihab, Beirut, Pustaka Hidayah, 1979.
Al-Qattan,  Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Litera Antarnusa, Pustaka  Islamiyah, 1973.
Ash-Shabunie,  Moh. Ali, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Surabaya, Al-Ikhlas,  1983.
Ash-Shidieqy, T. M.  Hasbi, Prof., Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Media Pokok dalam Menafsirkan  Al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
As-Shalih,  Subhi, Dr., Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Beirut, Pustaka  Firdaus, 1985.
Athaillah,  A., Sejarah Al-Qur’an dan Verifikasi Tentang Otentitas Al-Qur’an,  Banjarmasin, Antasari Press, 2007.
Bakar,  Rohadi Abu, Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an),  Semarang, Wicaksana, 1986.
Depag  RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara  Al-Qur’an, 1997.
Hadits Riwayat  Bukhari dan lainnya, h. 15.
Hasan,  Muhammad Tholhah, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman,  Jakarta, Lantabora Press, 2005.
Khalafullah,  Muhammad A., Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah Seni, Sastra dan  Moralitas dalam Kisah-Kisah Al-Qur’an, Jakarta, Paramadina, 2002.
Mudzhar, M.  Atho, Dr., H., Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta,  Pustaka Pelajar, 1998.
Syafi’i,  Rachmat, MA., Prof. DR. H., Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung,  Pustaka Setia, 1973.
Syaitut, Mahmud, Al-Islam  ‘Aqidah wa Syari’ah, h. 14.
JUDUL MAKALAH
ASBABUN NUZUL
(SEJARAH  SEBAB-SEBAB TURUNNYA AYAT AL-QUR’AN)
Makalah Disampaikan Dalam Seminar Kelas
Dengan Mata Kuliah
Ilmu Al-Qur’an
OLEH
MUHAMMAD  ZULKANI
NIM.  07.02.11.0326
DOSEN  PENGAMPU
Dr. H. A.  Athaillah, M.Ag
![]()  |   
PROGRAM MAGISTER (S2) PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI 
KONSENTRASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
BANJARMASIN
2007
[1]A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an dan Verifikasi Tentang  Otentitas Al-Qur’an, (Banjarmasin: Antasari Press, 2007), h. 11.
[2]Al-Syafi’i adalah seorang pakar fiqih dan ushul fiqih,  hadits, tafsir, dan bahasa Arab, dan pendiri mazhab Syafi’i. beliau  wafat pada tahun 204 H.
[3]Al-Farra adalah seorang pakar tafsir dan pakar bahasa Arab  yang wafat pada tahun 2007 H.
[4]Al-Asy’ari adalah seorang pakar ilmu kalam dan pendiri aliran  Asy’ariyah yang wafat pada tahun 224 H.
[5]Al-Zajjaj adalah seorang pakar bahasa Arab yang wafat pada  tahun 311 H.
[6]Al-Lihyani adalah seorang ahli bahasa Arab yang wafat pada  tahun 215 H.
[7]Mahmud Syaitut, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, h.  14.
[8]Prof. Dr. H. Rachmat Syafi’, MA., Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung:  Pustaka Setia, 1973), cet. Ke-1, h. 24.
[9]Prof. T. M. Hasbi Ash-Shidieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Media  Pokok dalam Menafsirkan        Al-Qur’an,  (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. Ke-1, h. 25.
[10]Dr. Dawud Al-Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an,  Pengantar DR. M. Quraish Shihab, (Beirut: Pustaka Hidayah, 1979), h.  127.
[11]Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an,  (Litera Antarnusa: Pustaka Islamiyah, 1973), cet. Ke-3, h. 107.
[12]Dr. H. M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori  dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), cet. Ke-8, h. 19.
[13]Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah  Seni, Sastra dan Moralitas dalam Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta:  Paramadina, 2002), h. 25.
[14]Rohadi Abu Bakar, Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya  Ayat-ayat Al-Qur’an), (Semarang: Wicaksana, 1986), h. v.
[15]Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi  Tantangan Zaman, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 50.
[16]Moh. Ali Ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Surabaya:  Al-Ikhlas, 1983),           h. 40.
[17]Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan  Penyelenggara Al-Qur’an, 1997), h. 33.
[18]Dr. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an,  (Beirut: Pustaka Firdaus, 1985),      h. 153.
[21]Hadits Riwayat Bukhari dan lainnya, h. 15.
[22]Hadits Riwayat Bukhari, op. cit., h. 18
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO


  
0 comments:
Post a Comment