Friday, May 28, 2010

Kandungan QS. Al Mukminun : 12-14 bag 2


Pernahkan
kita memikirkan dari mana kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap
penciptaannya? Pernahkah terpikir di benak kita bahwa tadinya kita berasal dari
tanah dan dari setetes mani yang hina?
Pembahasan berikut ini mengajak kita untuk melihat asal


kejadian manusia agar hilang kesombongan di hati dengan kesempurnaan jasmani
yang dimiliki dan agar kita bertasbih memuji Allah ‘Azza wa Jalla dengan
kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.
Dalam suatu ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengingatkan orang-orang musyrikin yang ingkar dan sombong tentang dari apa
mereka diciptakan. Ayat-ayat Al Qur’an lainnya menunjukkan bahwasanya asal
kejadian manusia dari tanah. Barangsiapa yang mengingkari hal ini, sungguh ia
telah kufur terhadap pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri.
Berkaitan dengan hal di atas, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menentukan tahapan-tahapan penciptaan itu dan begitu pula Rasul-Nya Shallallahu
Alaihi
Wa
Sallam telah memberikan kabar kepada kita akan hal tersebut dalam
hadits-haditsnya.
Di dalam suart Al mukminun yang akan dijelaskan kali ini
menerangkan tahap-tahap penciptaan manusia dari suatu keadaan kepada keadaan
lain, yang menunjukkan akan kesempurnaan kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa
‘Alaa saja yang berhak untuk diibadahi. Begitu pula penggambaran penciptaan
Adam ‘Alaihis Salam yang Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal
dari tanah berwarna hitam yang berbau busuk dan diberi bentuk.
Isi dari
surat
Al-Mukminun ayat 12-14 adalah:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ
نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً
فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا
الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ
أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
2.2 Terjemah
Terjemahan
dari ayat tersebut adalah:
Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik. [QS. al-Mukminun (23):12-14]

2.3 Tafsir
Ayat-ayat di atas menerangkan tahap-tahap penciptaan manusia
dari suatu keadaan kepada keadaan lain, yang menunjukkan akan kesempurnaan
kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa ‘Alaa saja yang berhak untuk
diibadahi.
Begitu pula penggambaran penciptaan Adam ‘Alaihis Salam
yang Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam
yang berbau busuk dan diberi bentuk.
Tanah tersebut diambil dari seluruh bagiannya, sebagaimana
dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘
Alaihi
Wa
Sallam :
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam
dari segenggam (sepenuh telapak tangan) tanah yang diambil dari seluruh
bagiannya. Maka datanglah anak Adam (memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna
kulit dan tabiat). Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan
di antara yang demikian. Di antara mereka ada yang bertabiat lembut, dan ada
pula yang keras, ada yang berperangai buruk (kafir) dan ada yang baik
(Mukmin).” (HR.
Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi : ‘Hasan shahih’.
Dishahihkan oleh Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan
Tirmidzi juz 3 hadits 2355 dan Shahih Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)
Semoga Allah merahmati orang yang berkata dalam bait
syi’irnya :
Diciptakan manusia dari saripati
yang berbau busuk.
Dan ke saripati itulah semua manusia
akan kembali.
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘Alaihis
Salam dari tanah. Dia ciptakan pula Hawa ‘Alaihas Salam dari Adam.
Dari Adam dan Hawa ‘Alaihimas Salam inilah terlahir
anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari air mani yang keluar dari
tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan hingga hari kiamat nanti. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 457)
Imam Thabari rahimahullah dan selainnya mengatakan
bahwa diciptakan anak Adam dari mani Adam dan Adam sendiri diciptakan dari
tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz 9 halaman 202)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menempatkan nuthfah
(yakni air mani yang terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika
terjadi jima’) dalam rahim seorang ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha
Kuasa menjadikan rahim itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan
calon manusia.
Dari nuthfah, Allah jadikan ‘alaqah yakni
segumpal darah beku yang bergantung di dinding rahim. Dari ‘alaqah
menjadi mudhghah yakni sepotong daging kecil yang belum memiliki bentuk.
Setelah itu dari sepotong daging bakal anak manusia tersebut, Allah Subhanahu
wa Ta’ala kemudian membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki
dengan tulang-tulang dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk
menyelubungi tulang-tulang tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah
ruh, lalu bergeraklah makhluk tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat,
mendengar, dan meraba. (Bisa dilihat keterangan tentang hal ini dalam
kitab-kitab tafsir, antara lain dalam Tafsir Ath Thabari, Tafsir Ibnu
Katsir, dan lain-lain)
Demikianlah kemahakuasaan Rabb Pencipta segala sesuatu,
sungguh dapat mengundang kekaguman dan ketakjuban manusia yang mau menggunakan
akal sehatnya. Semoga Allah meridhai ‘Umar Ibnul Khaththab, ketika turun awal
ayat di atas (tentang penciptaan manusia) terucap dari lisannya pujian :
“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin”
Maha Suci Allah, Pencipa Yang Paling Baik
Lalu Allah turunkan firman-Nya :
“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin” untuk melengkapi ayat di atas. (Lihat
Asbabun Nuzul oleh Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman
241, dan Aysarut Tafasir Abu Bakar Jabir Al Jazairi juz 3 halaman
507-508)
Maha Kuasa Allah Tabaraka wa Ta’ala, Dia memindahkan
calon manusia dari nuthfah menjadi ‘alaqah. Dari ‘alaqah
menjadi mudhghah dan seterusnya tanpa membelah perut sang ibu bahkan
calon manusia tersebut tersembunyi dalam tiga kegelapan.
Yang dimaksud “tiga kegelapan” dalam ayat di atas adalah
kegelapan dalam selaput yang menutup bayi dalam rahim, kegelapan dalam rahim,
dan kegelapan dalam perut. Demikian yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid,
‘Ikrimah, Abu Malik, Adh Dhahhak, Qatadah, As Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir
Ibnu Katsir juz 4 halaman 46 dan keterangan dalam Adlwaul Bayan juz
5 halaman 778)
Sekarang kita lihat keterangan tentang kejadian manusia dari
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘
Alaihi
Wa
Sallam. Abi ‘Abdurrahman
‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata :
Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘
Alaihi
Wa
Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan dibenarkan. Beliau
bersabda :
“Sesungguhnya setiap kalian
dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah.
Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi
gumpalan seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya
seorang Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara,
ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang
tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal
dengan amalan ahli Surga sehingga tidak ada di antara dia dan Surga melainkan
hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia
beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah
seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga
tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah
mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga
sehingga ia memasukinya.”
(HR. Bukhari 6/303 -Fathul Bari dan Muslim 2643, shahih)
Berita Nubuwwah di atas mengabarkan bahwa proses
perubahan janin anak manusia berlangsung selama 120 hari dalam tiga bentuk yang
tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40 hari. Yakni 40 hari pertama sebagai nuthfah,
40 hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga dalam bentuk
segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah perintahkan seorang Malaikat
untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4 perkara di atas.
Dalam riwayat lain :
Malaikat masuk menuju nuthfah
setelah nuthfah itu menetap dalam rahim selama 40 atau 45 malam, maka Malaikat
itu berkata : “Wahai Rabbku! Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?” Lalu ia
menulisnya. Kemudian berkata lagi : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?”
Lalu ia menulisnya dan ditulis (pula) amalnya, atsarnya[1],
ajalnya, dan rezkinya, kemudian digulung lembaran catatan tidak ditambah
padanya dan tidak dikurangi.
(HR. Muslim dan Hudzaifah bin Usaid radhiallahu ‘anhu, shahih)
Dalam Ash Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘
Alaihi
Wa
Sallam bersabda :
Allah mewakilkan seorang Malaikat
untuk menjaga rahim. Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Nuthfah, Wahai
Rabbku! Segumpal darah, wahai Rabbku! Segumpal daging.” Maka apabila Allah
menghendaki untuk menetapkan penciptaannya, Malaikat itu berkata : “Wahai
Rabbku! Laki-laki atau perempuan? Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?
Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana ajalnya?” Maka ditulis yang demikian dalam
perut ibunya. (HR.
Bukhari `11/477 -Fathul Bari dan Muslim 2646 riwayat dari Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu)
Dari beberapa riwayat di atas, ulama menggabungkannya
sehingga dipahami bahwasanya Malaikat yang ditugasi menjaga rahim terus
memperhatikan keadaan nuthfah dan ia berkata : “Wahai Rabbku! Ini ‘alaqah,
ini mudhghah” pada waktu-waktu tertentu saat terjadinya perubahan dengan
perintah Allah dan Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu. Adapun Malaikat
yang ditugasi, ia baru mengetahui setelah terjadinya perubahan tersebut karena
tidaklah semua nuthfah akan menjadi anak. Perubahan nuthfah itu
terjadi pada waktu 40 hari yang pertama dan saat itulah ditulis rezki, ajal,
amal, dan sengsara atau bahagianya. Kemudian pada waktu yang lain, Malaikat
tersebut menjalankan tugas yang lain yakni membentuk calon manusia tersebut dan
membentuk pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang, apakah calon
manusia itu laki-laki ataukah perempuan. Yang demikian itu terjadi pada waktu
40 hari yang ketiga saat janin berbentuk mudhghah dan sebelum
ditiupkannya ruh karena ruh baru ditiup setelah sempurna bentuknya.
Adapun sabda beliau Shallallahu ‘
Alaihi
Wa
Sallam :
Apabila telah melewati nuthfah waktu
42 malam, Allah mengutus padanya seorang Malaikat, maka dia membentuknya dan
membentuk pendengarannya, panglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya.
Kemudian Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan … .”
Al Qadhi ‘Iyadl dan selainnya mengatakan bahwasanya sabda
beliau Shallallahu ‘
Alaihi
Wa
Sallam di atas tidak
menunjukkan dhahirnya dan tidak benar pendapat yang membawakan hadits ini pada
makna dhahirnya. Akan tetapi yang dimaksudkan maka dia membentuknya dan
membentuk pendengarannya, penglihatannya … dan seterusnya adalah bahwasanya
Malaikat itu menulis yang demikian, kemudian pelaksanaannya pada waktu yang
lain (pada waktu 40 hari yang ketiga) dan tidak mungkin pada waktu 40 hari yang
pertama. Urutan perubahan tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam
surat
Al Mukminun ayat 12
sampai 14. (Lihat keterangan hal ini dalam Shahih Muslim Syarah Imam An
Nawawi, halaman 189-191)
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam Fathul
Bari (II/484) membawakan secara ringkas perkataan Ibnu Ash Shalah :
“Adapun sabda beliau Shallallahu ‘
Alaihi
Wa
Sallam dalam hadits Hudzaifah
bahwasanya pembentukan terjadi pada awal waktu 40 hari yang kedua. Sedangkan
dalam dhahir hadits Ibnu Mas’ud dikatakan bahwa pembentukan baru terjadi
setelah calon anak manusia menjadi mudhghah (segumpal daging). Maka
hadits yang pertama (hadits Hudzaifah) dibawa pengertiannya kepada pembentukan
secara lafadh dan secara penulisan saja belum ada perbuatan, yakni pada masa
itu disebutkan bagaimana pembentukan calon anak manusia dan Malaikat yang
ditugasi menuliskannya.”
Dalam ta’liq kitab Tuhfatul Wadud
halaman 203-204 disebutkan bahwasanya hadits yang menyatakan Malaikat membentuk
nuthfah setelah berada di rahim selama 40 malam, tidaklah bertentangan
dengan hadits-hadits yang lain. Karena pembentukan Malaikat atas nuthfah
terjadi setelah nuthfah tersebut bergantung di dinding rahim selama 40
hari yakni ketika telah berubah menjadi mudhghah. Wallahu A’lam.
Perubahan janin dari nuthfah menjadi ‘alaqah
dan seterusnya itu berlangsung setahap demi setahap (tidak sekaligus). Pada
waktu 40 hari yang pertama, darah masih bercampur dengan nuthfah, terus
bercampur sedikit demi sedikit hingga sempurna menjadi ‘alaqah pada 40
hari yang kedua, dan sebelum itu tidaklah ia dinamakan ‘alaqah. Kemudian
‘alaqah bercampur dengan daging, sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi
mudhghah. (Lihat Fathul
Bari
)
Tatkala telah sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah ruh dan
hal ini telah disepakati oleh ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
membangun madzhabnya yang masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas’ud
bahwasanya anak ditiupkan ruh padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu
bila janin seorang wanita gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut
dishalatkan (telah memiliki ruh kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian
juga dari Sa’id Ibnul Musayyib dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam
Syafi’i dan Ishaq.
Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia berkata : “Apabila
janin telah mencapai umur 4 bulan 10 hari, maka pada waktu yang 10 hari itu
ditiupkan padanya ruh dan dishalatkan atasnya (bila janin tersebut gugur).” (Lihat
Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam halaman 88-89
oleh Abi Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Kita lihat dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas bahwasanya
penulisan Malaikat terjadi setelah berlalu waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan
pada riwayat-riwayat di atas, penulisan Malaikat terjadi setelah waktu 40 hari
yang pertama. Riwayat-riwayat tersebut tidaklah bertentangan.
Imam An Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarah
Muslim (juz 5 halaman 191) setelah membawakan lafadh hadits dari Imam
Bukhari berikut ini :
‘Sesungguhnya penciptaan setiap
kalian dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari (sebagai nuthfah).
Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga. Kemudian menjadi segumpal
daging selama itu juga. Kemudian Allah mengutus seorang Malaikat dan diperintah
(untuk menuliskan) empat perkara, rezkinya dan ajalnya, sengsara atau
bahagianya. Kemudian ditiupkan ruh padanya … .’
Yang jelas penulisan takdir untuk janin di perut ibunya
bukanlah penulisan takdir yang ditetapkan untuk semua makhluk sebelum makhluk
itu dicipta. Karena takdir yang demikian telah ditetapkan 50.000 tahun
sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari
Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya Allah menetapkan
takdir-takdir makhluknya
lima
puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.”
(HR. Muslim 2653, shahih)
Dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu
dari Nabi Shallallahu ‘
Alaihi
Wa
Sallam, beliau bersabda :
Pertama kali yang Allah ciptakan
adalah pena (Al Qalam). Lalu Dia berfirman kepadanya : “Tulislah!” Maka pena
menuliskan segala apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. (HR. Abu Daud 4700, Tirmidzi 2100,
dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Iqadzul
Himam)
Banyak nash yang menyebutkan bahwa penetapan takdir
seseorang apakah ia termasuk orang yang bahagia atau sengsara telah ditulis
terdahulu. Antara lain dalam Shahihain dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘
Alaihi
Wa
Sallam bersabda :
“Tidak ada satu jiwa melainkan Allah
telah menulis tempatnya di Surga atau di neraka dan telah ditulis sengsara atau
bahagia.” Maka seorang laki-laki berkata : “Wahai Rasulullah! Mengapa kita
tidak mengikuti (saja) ketentuan kita (yang telah ditulis) dan kita tinggalkan
amal?” Maka beliau bersabda : “Beramal-lah, maka setiap orang akan dimudahkan
terhadap apa yang ditetapkan baginya. Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan
baginya untuk beramal dengan amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang sengsara
akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang sengsara.”
Kemudian beliau membaca : “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan
Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka
Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail : 5-7) [HR. Bukhari
3/225 -Fathul Bari dan Muslim 2647]
Bahagia atau sengsara seseorang ditentukan oleh akhir
amalnya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas. Demikian
pula dalam hadits berikut, dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dari
Nabi Shallallahu ‘
Alaihi
Wa
Sallam, beliau bersabda :
“Sesungguhnya hanyalah amal-amal
ditentukan pada akhirnya (penutupnya).” (HR. Bukhari 11/330 -Fathul Bari).
Catatan:
[1] Artinya :
Jejak kehidupannya.
[2] Ma’thuf
merupakan istilah dalam ilmu nahwu yang bermakna kurang lebih lafadh yang mengikuti
lafadh tertentu yang terletak sebelumnya.
[3] Ma’thuf
‘alaih bermakna lafadh yang diikuti oleh lafadh tertentu yang terletak
sesudahnya
2.4 Asbabun Nuzul
Dalam
suatu riwayat dikemukaan bahwa pandangan Umar sejalan dengan kehendak dalam
empat hal, antara lain mengenai turunnya ayat, Wa la qad khlaqal insane min sulalatim main thin (Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah) (Q.S
23 Al-Mu’minun:12) sampai, … Khalqan
Akhar … (… mahluk berbentuk lain…) (Q.S 23 Al-Mu’minun: 14). Pada waktu
mendengar ayat tersebut, Umar berkata:Fa
tabarakallahu ahsanul khaliqin (Maka Maha Sucilah Allah Pencipta yang
Paling Baik).” Maka turunlah akhir ayat tersebut (Q.S Al-Mu’minun: 14) yang
sejalan dengan ucapan umar itu.
2.5 Pengkajian Berdasarkan keilmuan masing-masing
Allah
menjadikan manusia dari khulasah (sari) tanah, artinya asal mulanya manusia itu
dijadikan Allah dari tanah. Menurut pendapat ahli pengetahuan bahwa bumi ini
sebagian dari matahari, sebab ia pada mula-mulanya sangat panas dan
bermyala-nyala, sebagaimana matahari itu. Tetapi lama kelamaan menjadi
dinginlah kulitnya yang terbelah keluar, sedang isinya yang didalam masih panas
juga.
Pertimbangan yang terkenal dan dihormati ilmuwan embriologi ini dinyatakan atas pembelajaran ayat al-Quran sesuai dengan
disiplinnya. Dan kesimpulannya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.
Kata alaqah dalam bahasa Arab memiliki tiga
arti. Pertama, berarti pacet atau lintah; kedua, berarti sesuatu yang tertutup; dan ketiga, berarti segumpal darah. Dalam perbandingan lintah air tawar dengan em-brio
pada tingkat alaqah, Profesor Moore menemukan persamaan yang besar di antara keduanya. Dia
menyimpulkan bahwa embrio selama tingkatan alaqah kenampakannya mirip dengan lintah itu. Profesor Moore menempatkan
gambar sisi embrio dengan sisi gambar seekor lintah. Dia memperlihatkan gambar gambar ini kepada para ilmuwan di beberapa
konferensi.Arti kedua dari kata alaqah adalah sesuatu yang
tergantung. Hal ini dapat kita lihat dalam penggabungan embrio dengan uterus
dalam rahim ibu selarna masa alaqah. Arti ketiga kata alaqah adalah segumpal darah. Hal ini berarti, sebagaimana yang diungkapkan Profesor Moore, bahwa embrio selama selama fase alaqah melalui kejadian di dalam, seperti formasi darah di dalam pembuluh darah tertutup, sampai putaran
metabolisme yang dilengkapi dengan plasenta. Selama fase alaqah, darah ditarik
di dalam pembuluh darah tertutup dan
itulah mengapa embrio tampak seperti segumpal darah, tampak juga seperti lintah. Kedua deskripsi itu dijelaskan secara menakjubkan
dengan kata alaqah di dalam al-Quran.
Bagaimana Nabi Muhammad SAW kemungkinan telah mengetahui dirinya. Profesor
Moore juga mempelajari embrio saat fase mudghah (gumpalan seperti zat/ substansi). Dia mengambil lempengan tanah liat yang kasar dan mengunyahnya ke dalam mulut. Kemudian membandingkan lempengan
itu dengan sebuah gambar embrio saat fase mudghah. Profesor Moore me-nyimpullkan bahwa
embrio saat fase mudghah tampak jelas seperti gumpalan zat. Beberapa
majalah di Kanada menerbitkan beberapa pernyataan
Profesor Moore. Lagipula, dia menjelaskan dalam tiga  acara TV di mana dia menyoroti
kesesuaian ilmu pengetahuan modern
dengan apa yang tersebut di dalam al-Quran selama 1400 tahun. Akibatnya, Profesor Moore ditanya
dengan pertanyaan seperti berikut: "Apakah hal ini berarti kamu percaya bahwa al-Quran itu
firman Allah?" Kemudian beliau menjawab: "Saya tidak menemukan kesulitan dalam penemuan hal ini." Profesor Moore juga ditanya:
"Bagaimana Anda percaya dengan Nabi Muhammad SAW jika Anda masih percaya dengan Yesus
Kristus?" Dia menjawab: "Saya percaya keduanya, karena keduanya dari sekolah yang sama."
Dengan demikian, semua ilmuwan modern yang ada di dunia
sekarang ini datang untuk mengetahui bahwa al-Quran itu adalah pengetahuan yang diturunkan dari Allah.

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 comments: