Monday, December 6, 2010

aliran tasawuf

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tasawuf
Menurut Bahasa, Tasawuf berasal dari bahasa Arab yaitu Sufi. Kata sufi berawal dari seorang sufi pertama yang merintis ilmu tasawuf dalam Islam, beliau bernama Abu Hasyim Al-Kufi berasal dari Iraq, beliau hidup di abad ke 8 Masehi dan wafat pada tahun 150 Hijriyah.[1] Ma’ruf al Karhki mengatakan “Tasawwuf ialah bergantung harap kepada Allah SWT dan tidak kepada makhluk.”


B.     Dasar Ilmu Tasawuf
Sebagaimana ilmu-ilmu Islam lainnya, ilmu tasawuf terlahir bukan tanpa dasar (dalil), ilmu tasawuf terlahir di jagat Allah ini setelah memiliki dalil yang sangat kuat dan penuh pertimbangan yang sangat matang dari para pendiri, pencetus dan pengamal assabikuna awwalin para sufi profesional yang tidak kenal lelah berikhtiar mensucikan batinnya dari segala noda dosa yang tidak diridhoi Allah Sang Penguasa Jagat.[2] Adapun dasar keberadaan ilmu tasawuf adalah:
1. Al-Qur'an
2. Al-Hadits
3. Ijma' 'Ulama
4. Ijtihad 'Ulama
5. Qias
6. Ilhamullah
7. Hidayatullah
Ke tujuh dasar di atas yang menjadi dasar (dalil) keberadaan ilmu tasawuf di jagat Allah ini, terlepas dari kritikan negatif dari orang-orang yang ilmunya belum sampai kepada ilmu tasawuf atau dari orang-orang yang di hatinya ada iri dengki kepada para sufiyallah atau dari orang-orang yang di hati dan fikirannya sama sekali tidak mengakui keberadaan keesaan Allah berikut kekuasaanNya.
Tasawuf memiliki berbagai aliran-aliran yang sangat banyak, diantaranya yang paling tekenal adalah aliran Tharikat, Akhlak, Akhwal dan Mahqomah, berikut kami akan jelaskan tentang aliran-aliran tersebut.

C.    Tharikat
Definisi Thariqah adalah perjalanan menuju Allah. Setiap yang hidup pasti berjalan, banyak orang berjalan tapi salah jalan, bingung jalan, linglung jalan, sesat jalan dan ada yang tak tahu jalan, seperti istilah berkata "malu bertanya jalan-jalan". Perjalanan itu dalam bahasa tasawuf disebut "Tariqat" artinya berjalan, namun tidak sembarang berjalan, karena semua perjalanan sudah disetting dan diprogram oleh Allah dalam Al-Kitab Al-Qur'an dan sudah diterangkan seterang-terangnya oleh Muhammad Rasulullah di dalam Al-Kitab Al-Hadits, yang jika dikaji tidak akan habis-habis walau yang mengkaji sudah keburu habis. Begitulah makna yang termaktub dalam Islam, 1 alif saja bisa mengandung jutaan makna, jika mau memaknainya tanpa membatasi diri dan tanpa mengkebiri aqal fikiran anugerah ilahi, namun harus steril dari aqal-aqali. Namun tidak mungkin bahasa steril akan keluar dari pena si hati busuk dan sifikiran berulat. Pena steril hanya keluar dari hati dan fikiran yang steril pula.[3]
Hati dan fikiran steril hanya dimiliki oleh orang-orang yang rajin dekat kepada Tuhan yang steril dari boha (boccor halus) yaitu Allah yang ZatNya tidak setara dengan makhluk ciptaanNya, Zat Yang Maha Suci terlepas dari sifat kematian atau hidup-hidup mati dan hanya Dialah yang mampu mensucikan jiwa-jiwa yang kotor.
Untuk kesucian jiwa tentulah dibutuhkan riadhoh (latihan) agar orang yang dilatih itu benar-benar kuat berjalan menuju Allah di manapun mereka berada. Lembaga riadhoh itu di dunia tasawuf disebut dengan istilah "Tariqat". Tariqat merupakan lembaga pendidikan sufi untuk pensucian diri dari segala noda dosa. Tariqat juga bisa kita sebut sebagai tempat perkaderan, penataran, pelatihan, pendadaran kaum sufi, di dalamnya hanya ada guru dan murid, sang guru disebut Kiyai (syekh) dan murid disebut sebagai santri (murid lelaki) atau santriyah (murid perempuan).

D.    Akhlak
Secara etimologis ahkhlaq adalah bentuk jamak dari khuluq yang artinya budi pekerti, tingkah laku, perangai atau tabi’at Mempunyai sinonim etika dan moral Etika dan moral berasal dari bahasa Latin yang berasal dari kata etos : kebiasaan dan mores artinya kebiasaannya. Kata akhlaq berasal dari kata kerja khalaqa yang artinya menciptakan. Khaliq maknanya pencipta atau Tuhan dan makhluq artinya yang diciptakan, sedangkang khalaq maknanya penciptaan. Kata khalaqa yang mempunyai kata yang seakar diatas mengandung maksud bahwa akhlaq merupakan jalinan yang mengikat atas kehendak Tuhan dan manusia. Pada makna lain kata akhlaq dapat diartikan tata perilaku seseorang terhadap orang lain. Jika perilaku atupun tindakan tersebut didasarkan atas kehendak Khaliq (Tuhan) maka hal itu disebut sebagai akhlaq hakiki. Dengan demikian akhlaq dapat dimaknai tata aturan atau norma prilaku yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan serta alam semesta[4]

1.      Pengertian akhlaq secara terminologis menurut :
a) Imam Ghozali :
الخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ورؤية
Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan
b) Ibnu Maskawaih :
الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية
Akhlaq adalah gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan dengan tidak membutuhkan pikiran.
c) Menurut Ahmad Amin :
الخلق عادة الإرادة
Khuluq (akhlaq) adalah membiasakan kehendak.
Dari berbagai definisi diatas, definisi yang disampaikan oleh Ahmad Amin lebih jelas menampakkan unsur yang mendorong terjadinya akhlaq yaitu ?adah : kebiasaan dan iradah : kehendak. Jika ditampilkan satu contoh proses akhlaq adalah ;
1) Dalam ‘Adah; - harus ada kecenderungan untuk melakukan sesuatu, - terdapat pengulangan yang sering dikerjakan sehingga tidak memerlukan pikiran.
2) Dalam Iradah:
a) lahir keinginan-keinginan setelah ada rangsangan (stimulan)
b) muncul kebimbangan, mana yang harus dipilih diantara keinginan-keinginan itu
  padahal harus memilih satu dari keinginan tersebut
c) mengambil keputusan dengan menentukan keinginan yang diprioritaskan diantara
    banyak keinginan tersebut.
Contoh Pada jam 2 siang seorang berangkat ke pasar untuk mencari bengkel motor untuk membeli kampas rem. Di saat memasuki lorong gang, ketika menoleh ke arah kanan melihat warung makan yang penuh sesak dan kepulan bau nikmat yang ia hirup. Sesaat kemudian melihat arah kiri, terdapat es cendol yang laris dibeli orang. Padahal orang tersebut sudah lapar dan haus. Sementara di arah depan kelihatan mushalla yang nampak bersih dan dilihat hilir mudik orang sembahyang. Kemudian orang tersebut menentukan shalat terlebih dahulu karena mempertimbangkan jam yang sudah limit. Kesimpulan yang dipilih oleh orang tersebut setelah banyak mempertimbangkan beberapa keinginan disebut iradah. Jika iradah tersebut dibiasakan setiap ada beberapa keinginan dengan tanpa berpikir panjang karena sudah dirasakan oleh dirinya maka disebut akhlak.
Sebaliknya ada seorang kaya, mendengarkan pengajian Da’i kondang menjelaskan hikmah infaq. Orang itu kemudian tertarik dan secara spontan memberikan uang satu juta rupiah untuk didermakan. Orang tersebut belum termasuk dermawan, karena pemberiannya ada dorongan dari luar. Orang tidak termasuk ramah tamu jika ia senang membeda-bedakan tamu yang datang. Dengan demikian akhlaq bersifat konstan (tetap-selalu) spontan, tidak temporer dan juga tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar.[5]
Disamping akhlaq ada istilah lain disebut etika dan moral masing-masing bahasa Latin. Tiga istilah diatas sama ?sama menentukan nilai baik dan buruk sikap perbuatan seseorang. Bedanya akhlaq mempunyai standar ajaran yang bersumber kepada al-Qur?an dan Sunnah Rasul. Etika berstandar kepada akal pikiran, sedangkan moral bersumber kepada adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat. Dalam penggunaan kata-kata tersebut kadang-kadang terjadi tumpang tindih, seperti Hassan Shadily menggunakan istilah moral sama dengan akhlaq

E.     Ahwal Dan Maqamat
Maqamat, bentuk jamak dari maqam berarti tahapan, tingkatan, atau kedudukan. Jadi, maqamat adalah tahapan rohani yang ditempuh oleh para pengamal tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan ahwal, bentuk jamak dari hal, adalah keadaan mental yang dirasakan oleh para pengamal tasawuf sebagai anugerah yang datang dari Allah SWT. Maqam merupakan usaha, sedangkan hal merupakan anugerah. Keadaan hati dinamakan hal karena berubah-ubah dan dinamakan maqam karena telah tetap.
Pendapat yang sangat populer mengenai maqamat dan ahwal dikemukakan oleh Abu Nasr Sarraj yang berkata, “Maqam adalah kedudukan manusia di sisi Allah yang masuk ke dalam hati, sesuatu yang dirasakan karena ketulusan mengingat (dzikr) Allah.”
Dunia tasawuf diliputi oleh filosofi, dimaksudkan agar para santri mudah memahami makna ritual yang akan diamalkan, karena pada hakikatnya ada hikmah yang akan dipetik dari semua tahapan riadhoh yang akan dikerjakan para santri dalam beramal, sejak riadhoh ahwal hingga riadhoh puncak maqamat. Sebelum para santri memulai riadhohnya, pada umumnya sang Kiyai (Syekh atau Mursyid) memberikan keterangan kepada santrinya hikmah amalan yang akan diriadhohkan dengan cara memberikan berbagai tamsilan-tamsilan dan tamsilan tersebut dikenal dengan istilah filosofi di kalangan para cendikiawan.
Pada ahwalnya semua orang yang baru memasuki dunia tasawuf difilosofikan sebagai kain kotor, sang mursyid difilosofikan sebagai tukang cuci kain (pelayan), ritual ibadah difilosofikan sebagai detergennya, tahapan maqamat difilosofikan sebagai embernya dan kesungguhan santri dalam ritual setiap maqam difilosofikan sebagai airnya. Dalam proses ritual maqamat sejak ahwal ilal akhir saling mendukung dan berkaitan, tidak satupun yang dapat diabaikan.[6]

Pada umumnya ada 3 (tiga) tahapan maqamat:
1. Membersihkan diri dari segala sifat negatif.
2. Mengisi diri dengan sifat positif.
3. Terbukanya hijab antara hamba dengan Allah.
Para santri ahwal beriadhoh membersihkan dirinya dari segala sifat negatif yang tidak diridhoi oleh Allah dan Rasul di bawah asuhan sang mursyidnya. Sang mursyid dianggap sebagai ayah dan santri dianggap sebagai anaknya. Sang mursyid tidak ingin anaknya membawa noda menghadap Allah, maka sang mursyid berkewajiban membukakan jalan santri menuju penyucian diri dari segala sifat negatif. Maka ilmu ahwal yang diajarkan sang mursyid kepada santrinya berupa pengenalan sifat-sifat negatif dalam diri dan cara membersihkannya



[1] Aceh, Abu  Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani,1984. hal. 26
[2] Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu al-Misriyyah,1954. hal 16
[3] Taimiyah, ibn, al-Shuffiyyah wa al-Fuqoro’, kairo, Mathba’ah al-Manar,1348 H, hal. 73
[4] Iskandar, Noer., Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001.hal 44 
[5] Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1995. Hal. 109
[6] Nicholson, A. Reynold,The Mistic of Islam, terj. BA, Jakarta, Bumi Aksara,1998. Hal 73

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 comments: