Sunday, December 5, 2010

PELANGGARAN HAK CIPTA KEKAYAAN INTELEKTUAL

 Pelanggaran Hak Cipta Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Copyright’s violation)Hak Cipta Kekayaan Intelektual (HAKI) pertama kali disahkan pada tahun 1981 oleh Mahkamah Agung Amerika setelah kasus Diamond Vs Diehr bergulir. Hak paten atau hak cipta kekayaan intelektual sangat penting karena memberikan hak kepada perusahaan software tertentu untuk melindungi hasil karyanya dari pembajakan oleh perusahaan software lain sekaligus memberikan peluang bagi mereka untuk menjadikan software buatannya sebagai komoditas finansial yang dapat mendorong pertumbuhan industri. Dengan adanya hak cipta terhadap software, apabila terjadi pembajakan terhadap software tersebut maka pelakunya dapat dituntut secara hukum dan dikenakan sanksi yang berat. Maka, para perusahaan software pun berlomba-lomba mematenkan produknya tidak peduli betapa mahal dan sulitnya proses pengeluaran hak paten tersebut.
Namun di satu sisi, hak cipta kekayaan intelektual memberikan masalah baru terkait dengan aplikasinya oleh para pengguna di seluruh dunia. Disebarluaskannya penggunaan floppy disk drive pada PC hingga alat yang saat ini populer yaitu CD-RW dan DVD-RW membuat kasus pembajakan software semakin marak di seluruh dunia. Kemampuan alat ini untuk menciptakan software lebih banyak dimanfaatkan oleh pengguna komputer untuk menggandakan software dengan mudah tanpa mengurangi kualitas produknya. Bahkan produk hasil penggandaannya akan berfungsi sama seperti software yang asli.
Selain mengakibatkan kerugian pada perusahaan komputer yang menciptakan software, pembajakan juga mengakibatkan pelanggaran terhadap hak cipta kekayaan intelektual (HAKI). Memang tak dapat dipungkiri bahwa makin meluasnya penggunaan teknologi komputer untuk kantor maupun pribadi memungkinkan setiap individu di seluruh dunia untuk menggandakan software tanpa diketahui oleh pemilik hak cipta sehingga pembajakan software sulit untuk diawasi dan ditindak. Namun sejauh ini berbagai upaya tengah dilakukan pemerintah dan produsen software untuk melindungi properti intelektual hasil inovasi mereka dari pembajakan. Pemerintah mengeluarkan aturan hukum berkaitan dengan undang-udang tentang hak cipta kekayaan intelektual (HAKI) yang berisi tentang tata cara perlindungan software, berbagai bentuk pembajakan serta sanksi bagi pelaku pembajakan sofware. Aturan hukum ini tentunya akan mencapai titik keberhasilan apabila diikuti dengan penegakan hukum yang mendasar dimana kalangan korporat, pemerintahan, hingga para penegak hukum juga diharuskan menggunakan software asli dalam pemakaian teknologi di lingkungan mereka.








ULASAN TENTANG HUKUM PELANGGARAN HAK CIPTA KEKAYAAN INTELEKTUAL
Hak cipta atau droit d’auteur adalah “Hak eksklusif bagiPencipta atau Penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya ataumemberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. ”Penjelasan Pasal 2 ayat (1) alinea pertama Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya disingkat UUHC) menjelaskan bahwa, “Yang dimaksud hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagipemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya” (garis bawah dariPenulis). Berangkat dari definisi hukum “hak cipta” dapat ditarik dua hak mendasar yang terkandung di dalamnya, yaitu :
a)     Hak ekonomi (droit patrimonial); dan
b)     Hak moral (droit moral).
Hak ekonomi atau droit patrimonial adalah hak yang menempel pada Pemegang Hak Cipta untuk mengeksploitasi (droitd’exploitation) ciptaannya baik dengan cara mengumumkannya (droit dereprésentation) maupun dengan cara memperbanyaknya (droit dereproduction). Dimaksud “pengumuman” menurut Pasal 1 butir (5) UUHC adalah,“Pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, ataupenyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media Internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain”; selanjut pada butir (6),ditentukan bahwa yang dimaksud dengan “perbanyakan” adalah, “Penambahanjumlah sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagianyang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupuntidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer”.
Masa berlaku perlindungan hak cipta bergantung pada jenis ciptaannya,untuk hak cipta atas karya cipta lagu/musik baik dengan maupun tanpa teks berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah Pencipta meninggal dunia (50 tahun post mortem). Sedangkan karya cipta sinematografi diberikan perlindungan selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Dengan demikian, selama jangka waktu berlakunya perlindungan hak cipta atas karya cipta, tidak satu pun karya cipta terlindungi dapat diperbanyak,diumumkan, diterjemahkan atau diadaptasikan ke media apa pun termasuk Internet tanpa ijin dari Pemegang Hak Cipta. Namun, hak cipta yang pada hakekatnya timbul secara otomatis. setelah suatu ciptaan dilahirkan, dalam penggunaannya harus sesuai dan tidakmengurangi pembatasan-pembatasan menurut UUHC dan peraturan perundang-undanganlain yang berlaku.
            Hak moral atau droitmoral  adalah hak yang melekat pada Pencipta, yang bersifat abadi,tidak dapat diganggu-gugat dan hanya dapat dipindahtangankan melalui wasiatPencipta. Selanjutnya tentang hak moral, menurut H. OK. Saidin, adalah“Merupakan kekhususan yang tidak ditemukan pada hak manapun di dunia ini”. Pasal 24UUHC menentukan tiga hak preogative moral, yaitu :
a)   Droit de paternité (hakkedudukan sebagai Pencipta), Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut Pemegang Hak Cipta supaya nama Pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya(Pasal 24 ayat (1));
b)  Droit au respect  de l’oeuvre (hak penghormatan terhadap ciptaan), yang menentukan bahwa suatuciptaan tidak boleh diubah walaupun hak ciptanya telah diserahkan kepada pihaklain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnyadalam hal Pencipta telah meninggal dunia. Hal ini berlaku juga terhadap perubahan judul dan anak judul ciptaan, pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Pencipta (Pasal 24 ayat (2) dan (3));
c)   Droit de repentir (hakmengadakan perubahan), dimana Pencipta tetap berhak mengadakan perubahan padaciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat (Pasal 24 ayat (4)).
DAMPAK PELANGGARAN HAK CIPTA
Barang-barang yang diproduksi palsu dan dijual ke pasar, selain merugikan bagi penerimaan royalti para pencipta juga mengurangi pendapatan pajak negara dan penurunan kualitas barang yang dapat dinikmati oleh masyarakat konsumen. Kerugian ini jelas harus ditanggulangi dengan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta tersebut sehingga dapat tercipta perlindungan yang diharapkan oleh semua pihak, terutama para pencipta/pemegang izin. Daya kreatif dan inovatif para pencipta akan mengalami penurunan, jika pelanggaran hak cipta terus berlangsung tanpa ada penegakan hukum yang memadai dengan menindak para pelakunya.
Negara melalui aparat penegak hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung harus bertanggung jawab dengan adanya peristiwa ini dengan berupaya keras melakukan penang-gulangan merebaknya pelanggaran hak cipta. Apabila tidak ada penegakan hukum yang konsisten terhadap para pelanggar, maka akan sulit terwujudnya suatu perlindungan hukum terhadap hak cipta yang baik.
Masalah ini telah menjadi tuntutan masyarakat internasional terhadap bangsa dan negara Indonesia yang dinilai masih rendah untuk menghargai HAKI.Pengaturan standar minimum perlindungan hukum atas ciptaan-ciptaan, hak-hak pencipta dan jangka waktu perlindungan dalam Konvensi Bern adalah sebagai berikut. Pertama, ciptaan yang dilindungi adalah semua ciptaan di bidang sastra, ilmu pengetahuan dan seni dalam bentuk apa pun perwujudannya. Kedua, kecuali jika ditentukan dengan cara reservasi, pembatasan atau pengecualian yang tergolong sebagai hak-hak ekslusif seperti (a) hak untuk menerjemahkan, (b) hak mempertun-jukkan di muka umum ciptaan drama musik dan ciptaan musik, (c) hak mendeklamasikan di muka umum suatu ciptaan sastra, (d) hak penyiaran, (e) hak membuat reproduksi dengan cara dan bentuk perwujudan apa pun, (f) hak menggunakan ciptaannya sebagai bahan untuk ciptaan, dan (g) hak membuat aransemen dan adapsi dari suatu ciptaan.Selain hak-hak ekslusif di atas, Konvensi Bern juga mengatur sekumpulan hak yang dinamakan dengan hak-hak moral (moral rights).
Hak moral adalah hak pencipta untuk mengklaim sebagai pencipta atas suatu hasil ciptaan dan hak pencipta untuk mengajukan keberatan-keberatan terhadap setiap perbuatan yang bermaksud untuk mengubah, mengurangi atau menambah keaslian ciptaan, yang akan dapat meragukan kehormatan dan reputasi pencipta pertama.Hak moral seorang pencipta menurut pendapat A. Komen dan D.WS Verkade mengandung empat makna. Pertama, hak untuk melakukan atau tidak melakukan pengumuman ciptaannya. Kedua, hak untuk melakukan perubahan-perubahan yang dianggap perlu atas ciptaannya, dan hak untuk menarik dari peredaran ciptaan yang telah diumumkan kepada publik. Ketiga, hak untuk tidak menyetujui dilakukannya perubahan-perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain. Keempat, hak untuk mencantum-kan nama pencipta, hak untuk tidak menyetujui setiap perubahan atas nama pencipta yang akan dicantumkan, dan hak untuk mengumumkan sebagai pihak pencipta setiap waktu yang diinginkan. Hak ini mempunyai kedudukan sejajar dengan hak ekonomi yang dapat dimiliki seorang pencipta atas suatu hasil ciptaannya.
Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur dalam undang-undang untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta oleh orang-orang yang tidak berhak. Apabila terjadi pelanggaran, maka pelang-garan itu harus diproses secara hukum, dan bilamana terbukti melakukan pelanggaran akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan undang-undang hak cipta. UU No. 19 Tahun 2002 mengatur jenis-jenis perbuatan pelanggaran dan ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun pidana. UU ini memuat sistem deklaratif (first to use system), yaitu perlindungan hukum hanya diberikan kepada pemegang/pemakai pertama atas hak cipta. Apabila ada pihak lain yang mengaku sebagai pihak yang berhak atas hak cipta, maka pemegang/pemakai pertama harus membuktikan bahwa dia sebagai pemegang pemakai pertama yang berhak atas hasil ciptaan tersebut. Sistem deklaratif ini tidak mengharus-kan pendaftaran hak cipta, namun pendaftaran pada pihak yang berwenang (cq Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Depkeh RI) merupakan bentuk perlindungan yang dapat memberikan kepastian hukum atas suatu hak cipta.

TINJAUAN PENULIS TERHADAP KASUS PELANGGARAN HAK CIPTA INTELEKTUAL
Setiap manusia yang menciptakan sebuah karya tentu akanmerasa senang bila hasil karyanya mendapat penghargaan. penghargaan tersebut dapat bermacam-macam bentuknya dalam kaitannya dengan teknologi informasi dan komunikasi, ada banyak cara untuk menghargai hak cipta orang lain. Dampak negative dari tidak di indahkannya undang-undang hak cipta adalah maraknya pembajakan. Kegiatan pembajakan merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Pembajakan merupakan perbuatan yang dapat merugikan banyak pihak, baik secara kreativitas maupun secara ekonomi. Dewasa ini pembajakan terkait karya cipta tidak hanya terjadi pada ruang lingkup seni seperti film, music atau karya seni lain, tapi juga meluas pada karya-karya perangkat lunak computer. Dimasyarakat telah umum beredar barang-barang tekhnologi informasi dan komunikasi legal, termasuk perangkat lunak computer yang dijual bebas sebagai hasil dari penggandaan tanpa ijin. Perbuatan seperti ini jelas melanggar hokum dan pelakunya dapat di ajukan ke pengadilan. sebagai warga Negara yang baik, sudah sepantasnya kita menghargai hak cipta orang lain.

Nama      : Karina
Kelas       : X-1
No.          : 15

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 comments: